JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengaku cemas dengan masa depan politik Indonesia seandainya kepercayaan publik terhadap MK gagal dikembalikan.
Ia menyinggung bahwa para pelapor dugaan pelanggaran etik ke MKMK rata-rata menginginkan sanksi paling berat kepada para hakim konstitusi yang dianggap melanggar etik, yaitu pemberhentian dengan tidak hormat.
"Jadi menggambarkan betapa seriusnya masalah MK kita, baik secara internal maupun juga terkait dengan harapan publik," kata Jimly kepada wartawan, Kamis (2/11/2023) malam.
Pasalnya, MK akan menjadi lembaga yang berwenang mengadili sengketa atau perselisihan hasil pemilihan umum (pemilu).
Baca juga: Soal Usul Hak Angket MK, Jimly Asshiddiqie: Bagus-bagus Saja karena Ini Masalah Serius
Sementara itu, Jimly mengatakan, peralihan kepemimpinan nasional pada 2024 harus berlangsung damai dan konstitusional.
Oleh karena itu, ia menilai bahwa MK harus betul-betul menjadi pengadil yang dipercaya oleh masyarakat.
"Sebab, kalau tidak tepercaya, itu menimbulkan masalah. Bisa memicu konflik di mana-mana," ujar Jimly soal kekhawatirannya.
"Apalagi, ini kan tiga pasangan calon presiden ini kayaknya sama kuat ini, 30-an persen semua (elektabilitasnya). Ini kan bisa ribut," katanya melanjutkan.
Baca juga: Periksa Hakim MK Keenam Hanya 20 Menit, MKMK Akui Sudah Dapat Titik Terang soal Pelanggaran Etik
Jimly lantas berharap bahwa putusan MKMK soal dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi yang bakal dibacakan pada 7 November 2023, bisa memberi rasa keadilan dan menjadi solusi untuk rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga pengawal konstitusi.
Sebagai informasi, dugaan pelanggaran kode etik ini mengemuka setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi), Anwar Usman, mengabulkan sebagian gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin, 16 Oktober 2023.
Dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Hakim yang setuju putusan itu hanya Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion), bahwa hanya gubernur yang berhak untuk maju sebagai bakal capres-cawapres.
Sementara itu, hakim konstitusi Arief Hidayat, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo menolak dan menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Kemudian, putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya hampir tiga tahun.