DUA saudara sekandung berselisih dua tahun, Virginia Rose van Makassar (Gina) dan Abraham Lincoln van Parepare (Abe).
Keduanya selalu masuk pada sekolah yang sama, hobi yang sama, porsi perhatian orangtua juga sama. Namun, mereka tidak pernah akur dalam hal politik, terutama figur politik.
Gina sangat pro Gibran Rakabuming Raka, dari hulu sampai hilir. Sejak Gibran dicalonkan menjadi Cawapres, pendamping Prabowo Subianto, Gina sibuk tak kepalang.
Sejak fajar menyingsing hari Sabtu, hingga fajar menyingsing hari Ahad, hanya menelpon orang, melampiaskan kegirangannya.
Hidup Gibran. Hidup anak muda. Hidup dinasti Jokowi, katanya dengan teriakan kencang.
Kegirangan Gina sangat mengganggu Abe yang sudah berjam-jam duduk di depan televisi, menonton Youtube. Ia fokus menonton pertandingan final Olimpiade 1992, yang memperhadapkan antara Susi Susanti, jagoan Indonesia, dengan Bang Soo Hyun (Korea).
Kamu itu Abe, sama sekali cuek tentang kehidupan bangsa kita. Mbok ya, kamu itu ikut mengampanyekan dan mempromosi Gibran. Alih-alih membantu saya untuk ini, kamu justru menantang pencalonan Gibran sebagai pemimpin bangsa. Kamu kuno, berpikir bahwa Mas Gibran itu terlampau muda, kata Gina ke Abe, penuh emosi.
Gina, turunkan sedikit emosi dan suaramu. Ini negeri demokratis kan. Kita sah dalam bersilangan ide dan berseberangan pilihan, jawab Abe.
Emang sah, tetapi jangan karena soal usia kamu tidak menyenangi Mas Gibran. Jangan pula hanya karena dia anak pejabat. Lagi-lagi, jangan juga hanya karena dia nampak tidak mampu menguraikan sesuatu secara jelas, begitu ucapan Gina ke Abe, adiknya sendiri.
Kakak Gina, kita nonton sebentar saja cuplikan final badminton Olimpiade ini. Emang kejadiannya 31 tahun, tetapi banyak pelajaran politik yang bisa diambil di sini, kata Abe penuh bujukan ke kakaknya yang berapi-api itu.
Pelajaran politik apa yang bisa diambil di situ, Abe? Itu tidak ada kaitannya dengan partai politik dan pencalonan Capres-Cawapres yang bakal menentukan bahtera biduk perjalanan bangsa kita ke depan, tegas Gina ke Abe.
Kakak, coba lihat tuh Susi Susanti, berdiri tegak di atas podium terhormat Olimpiade. Matanya sembab, penuh haru. Dia orang Indonesia pertama yang memperoleh medali emas Olimpiade di Barcelona, Spanyol.
Saksikan tuh, para penonton juga menangis, ikut terharu. Jangan lupa kak, sebelum memperoleh medali emas Olimpiade, Susi Susanti itu sudah juara All England dua kali dan juara Dunia tiga kali. Nah, ini yang disebut hebat.
Ini yang disebut hero. Ini yang patut kita contoh, berbuat nyata bagi bangsa dan negara. Lagi pula, ia atlet sejati yang merangkak dari bawah. Tidak dikarbit, kak, kata Abe ke Gina.
Saya belum dapat kaitan politiknya Abe, terutama alasanmu untuk tidak memilih Gibran, lanjut Gina lagi.