Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Pilih Siapa: Susi Susanti atau Gibran Rakabuming?

Kompas.com - 25/10/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUA saudara sekandung berselisih dua tahun, Virginia Rose van Makassar (Gina) dan Abraham Lincoln van Parepare (Abe).

Keduanya selalu masuk pada sekolah yang sama, hobi yang sama, porsi perhatian orangtua juga sama. Namun, mereka tidak pernah akur dalam hal politik, terutama figur politik.

Gina sangat pro Gibran Rakabuming Raka, dari hulu sampai hilir. Sejak Gibran dicalonkan menjadi Cawapres, pendamping Prabowo Subianto, Gina sibuk tak kepalang.

Sejak fajar menyingsing hari Sabtu, hingga fajar menyingsing hari Ahad, hanya menelpon orang, melampiaskan kegirangannya.

Hidup Gibran. Hidup anak muda. Hidup dinasti Jokowi, katanya dengan teriakan kencang.

Kegirangan Gina sangat mengganggu Abe yang sudah berjam-jam duduk di depan televisi, menonton Youtube. Ia fokus menonton pertandingan final Olimpiade 1992, yang memperhadapkan antara Susi Susanti, jagoan Indonesia, dengan Bang Soo Hyun (Korea).

Kamu itu Abe, sama sekali cuek tentang kehidupan bangsa kita. Mbok ya, kamu itu ikut mengampanyekan dan mempromosi Gibran. Alih-alih membantu saya untuk ini, kamu justru menantang pencalonan Gibran sebagai pemimpin bangsa. Kamu kuno, berpikir bahwa Mas Gibran itu terlampau muda, kata Gina ke Abe, penuh emosi.

Gina, turunkan sedikit emosi dan suaramu. Ini negeri demokratis kan. Kita sah dalam bersilangan ide dan berseberangan pilihan, jawab Abe.

Emang sah, tetapi jangan karena soal usia kamu tidak menyenangi Mas Gibran. Jangan pula hanya karena dia anak pejabat. Lagi-lagi, jangan juga hanya karena dia nampak tidak mampu menguraikan sesuatu secara jelas, begitu ucapan Gina ke Abe, adiknya sendiri.

Kakak Gina, kita nonton sebentar saja cuplikan final badminton Olimpiade ini. Emang kejadiannya 31 tahun, tetapi banyak pelajaran politik yang bisa diambil di sini, kata Abe penuh bujukan ke kakaknya yang berapi-api itu.

Pelajaran politik apa yang bisa diambil di situ, Abe? Itu tidak ada kaitannya dengan partai politik dan pencalonan Capres-Cawapres yang bakal menentukan bahtera biduk perjalanan bangsa kita ke depan, tegas Gina ke Abe.

Kakak, coba lihat tuh Susi Susanti, berdiri tegak di atas podium terhormat Olimpiade. Matanya sembab, penuh haru. Dia orang Indonesia pertama yang memperoleh medali emas Olimpiade di Barcelona, Spanyol.

Saksikan tuh, para penonton juga menangis, ikut terharu. Jangan lupa kak, sebelum memperoleh medali emas Olimpiade, Susi Susanti itu sudah juara All England dua kali dan juara Dunia tiga kali. Nah, ini yang disebut hebat.

Ini yang disebut hero. Ini yang patut kita contoh, berbuat nyata bagi bangsa dan negara. Lagi pula, ia atlet sejati yang merangkak dari bawah. Tidak dikarbit, kak, kata Abe ke Gina.

Saya belum dapat kaitan politiknya Abe, terutama alasanmu untuk tidak memilih Gibran, lanjut Gina lagi.

Begini ya, kakak. Susi Susanti itu menjadi juara dan hero, bukan dadakan. Ia mulai masuk pelatnas badminton usia 15 tahun. Susi diajak masuk pelatnas karena ia sudah jadi juara nasional badminton tingkat remaja.

Ia masuk ke pelatnas karena prestasi. Bukan lantaran ia anak dari pengurus nasional badminton. Ia mulai mengayun raket dalam usia sekitar 6 tahun, kata Abe.

Ketika itu, PBSI dipimpin oleh Pak Try Sutrisno dan sudah terdengar bahwa cabang olahraga badminton akan diperlombakan dalam Olimpiade 1992.

Pak Try Sutrisno sudah mempersiapkan kader-kader pemain lima tahun sebelumnya, termasuk Susi Susanti dan Alan Budikusuma, yang juga memenangkan medali emas bersama Susi Susanti.

Intinya, ada proses panjang untuk naik ke pentas tertinggi, kata Abe ke Gina lagi.

Coba perhatikan kehidupan Susi Susanti, kak, lanjut Abe lagi. Selama dalam pelatnas, ia mengubur masa remajanya yang penuh canda, menjadi masa-masa membangun dan melemaskan otot, lari berkilo-kilo meter jauhnya, loncat setinggi mungkin, maju dan mundur, memukul bola beratus-ratus tiap hari.

Semua itu ia lakukan selama bertahun-tahun, tiga kali sehari. Praktis, masa keceriaannya ia kubur untuk menjadi pemenang nomor satu.

Selain itu, ia menaklukkan semua lawannya, yang juga hebat. Ia selalu jadi juara tanpa berkolusi dengan hakim, baik hakim yang memimpin pertandingan, maupun hakim garis.

Ia tidak bersekongkol dengan aparat keamanan agar memukul lpunda lawan sebelum ia bertanding.

Singkatnya, fair play terjadi, karena lapangan buat diri dan lawannya, sama ukurannya, wasit yang memimpin pertandingan, juga wasit yang sama.

Aturan main yang diterapkan selama pertandingan juga sama, antara Susi Susanti dan lawan-lawannya.

Kakak ingat Nelson Mandela kan, tanya Abe ke Gina lagi.

Iya, itu idola saya, jawab Gina.

Nah, Mandela pernah berkata: “Olahraga itu bisa mengubah dunia. Ia memiliki kekuatan untuk memberi inspirasi, kekuatan untuk menyatukan. …. Sports is the game of lovers,” kata Abe.

Itu semua karena di dalam olahraga itu, ada sportivitas. Bukan keistimewaan pada pemain tertentu.

Kesimpulannya kakak, Susi Susanti juara karena ada investasi yang dilakukan. Ada jejak yang ditorehkan. Ada pengorbanan yang dipersembahkannya. Ada peluh mengalir membasahi tubuhnya setiap hari.

Bukan karbitan. Bukan karena dia anak pejabat yang memperoleh kemudahan. Ia juara karena ia berjuang sendiri, tegas Abe ke Gina lagi.

Jadi maksudmu, Abe, menjadi pemimpin nasional di negeri kita ini, seyogianya bercermin dari perjalanan Susi Susanti yang merangkak dari bawah?

Susi Susanti yang berjuang dengan kemampuan sendiri? Susi Susanti, sang penakluk, yang membangun namanya sendiri? Begitu pertanyaan Gina ke Abe.

Ya, apalagi kalau bukan karena itu, kak. Coba kalau Susi Susanti dikarbit karena keistimewaan berdasarkan kekuasaan yang dipegang oleh orangtuanya, ataukah pengurus PBSI, memang mungkin ia tetap menjadi penghuni pelatnas badminton, tetapi pasti tidak pernah jadi legenda.

Pasti tidak pernah juara All England dan Olimpiade. Ia pasti keok di tengah jalan. Lagi pula, andaikan itu terjadi, kan tidak fair karena banyak pemain lain yang mampu, tetapi disisihkan hanya karena Susi Susanti putri kesayangan pengurus atau orang yang berkuasa, tegas Abe lagi.

Jadi benar ya Abe, kamu tidak menolak Gibran dengan alasan usianya baru 36 tahun kan? Tanya Gina lagi.

Leo Messi dipuja dan disanjung sejagat karena talentanya yang membawa Argentina juara dunia pada 2022. Apa ia berusia seperti Susi Susanti? Tidak kan.

Usia Messi ketika itu, sudah terbilang tua dalam olahraga sepakbola, 35 tahun. Dunia mengaguminya bukan karena usia, tetapi talenta dan kemampuan, serta investasi yang dibangunnya dari nol, jawab Abe.

Jadi, menjadi pemimpin itu, harus memiliki jiwa sportivitas. Tidak ujuk-ujuk dan aji mumpung.

Dan yang paling penting, jangan merampas peluang orang lain karena titah tahta kuasa, tegas Abe lagi. Dan paling utama, “Jangan ada dusta di antara kita."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soroti Ketimpangan, Megawati: Bisa Beli Handphone, tapi Risma Nangis Ada Juga yang Tinggal di Kandang Kambing

Soroti Ketimpangan, Megawati: Bisa Beli Handphone, tapi Risma Nangis Ada Juga yang Tinggal di Kandang Kambing

Nasional
Ganjar Pranowo: 17 Poin Rekomendasi Rakernas Beri Gambaran Sikap Politik PDIP

Ganjar Pranowo: 17 Poin Rekomendasi Rakernas Beri Gambaran Sikap Politik PDIP

Nasional
Sambut Pilkada 2024, Megawati Minta Kader PDIP Turun ke Akar Rumput

Sambut Pilkada 2024, Megawati Minta Kader PDIP Turun ke Akar Rumput

Nasional
Besok, Joice Triatman dan Pegawai di Nasdem Tower Jadi Saksi di Sidang SYL

Besok, Joice Triatman dan Pegawai di Nasdem Tower Jadi Saksi di Sidang SYL

Nasional
Bongkar Aliran Uang, KPK Bakal Hadirkan Istri, Anak dan Cucu SYL di Persidangan

Bongkar Aliran Uang, KPK Bakal Hadirkan Istri, Anak dan Cucu SYL di Persidangan

Nasional
Megawati: Posisi Politik PDI-P Selama Ini Diputuskan dalam Kongres Partai

Megawati: Posisi Politik PDI-P Selama Ini Diputuskan dalam Kongres Partai

Nasional
Soal Jatah Menteri untuk Demokrat, Wasekjen: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo...

Soal Jatah Menteri untuk Demokrat, Wasekjen: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo...

Nasional
Rekomendasi Rakernas Kelima PDI-P, Megawati Diminta Kesediaannya untuk Kembali Jadi Ketum

Rekomendasi Rakernas Kelima PDI-P, Megawati Diminta Kesediaannya untuk Kembali Jadi Ketum

Nasional
Pertamina Patra Niaga Terus Tertibkan Operasional SPBE

Pertamina Patra Niaga Terus Tertibkan Operasional SPBE

Nasional
Megawati: Ada yang Lama Ikut Katanya Ibu Menghina Sebut Kader, Tahulah Siapa...

Megawati: Ada yang Lama Ikut Katanya Ibu Menghina Sebut Kader, Tahulah Siapa...

Nasional
Pengamat: Permintaan Maaf PDI-P Atas Kadernya yang Melanggar Konstitusi untuk Tunjukkan Sikap Legowo

Pengamat: Permintaan Maaf PDI-P Atas Kadernya yang Melanggar Konstitusi untuk Tunjukkan Sikap Legowo

Nasional
Megawati: Sekarang Tuh Hukum Versus Hukum, Terjadi di MK, KPK, KPU

Megawati: Sekarang Tuh Hukum Versus Hukum, Terjadi di MK, KPK, KPU

Nasional
Ketua DPD PDIP Jatim Said Abdullah Dukung Megawati Soekarnoputri Kembali jadi Ketua Umum PDIP

Ketua DPD PDIP Jatim Said Abdullah Dukung Megawati Soekarnoputri Kembali jadi Ketua Umum PDIP

Nasional
Ditinggal Jokowi, PDI-P Disebut Bisa Menang Pileg karena Sosok Megawati

Ditinggal Jokowi, PDI-P Disebut Bisa Menang Pileg karena Sosok Megawati

Nasional
Rakernas V PDI-P Rekomendasikan ke Fraksi DPR Dorong Kebijakan Legislasi Tingkatkan Kualitas Demokrasi Pancasila

Rakernas V PDI-P Rekomendasikan ke Fraksi DPR Dorong Kebijakan Legislasi Tingkatkan Kualitas Demokrasi Pancasila

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com