JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) disarankan supaya tidak memaksakan putra bungsunya yang menjabat Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, buat menjadi peserta Pilpres 2024, atau diprediksi akan berada dalam posisi sulit menjelang akhir masa jabatannya.
Pakar politik Ikrar Nusa Bhakti berpendapat, Presiden Jokowi yang sudah memimpin Indonesia selama 2 periode seharusnya mengakhiri masa jabatannya dengan meninggalkan warisan yang baik.
"Presiden Jokowi itu sudah bagus, warisan pembangunannya sudah bagus, pendapatan per kapita sudah baik, dia membangun Papua, maka sebaiknya meninggalkan warisan yang baik dan smooth landing," kata Ikrar saat dihubungi pada Kamis (19/10/2023).
Baca juga: Gibran Ngaku Tak Bikin SKCK untuk Maju Pilpres, Golkar: Tunggu Tanggal Mainnya
Ikrar menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi syarat batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sangat politis demi kepentingan pihak tertentu.
"Politisasi MK itu kental sekali. MK sudah menjadi lembaga yang melakukan yudisialisasi terhadap hal-hal yang berbau politik. Dan jangan menyalahkan kalau orang mencurigai putusan ini ada kepentingannya Gibran," papar Ikrar.
Ikrar mengatakan, putusan MK itu seolah memperlihatkan terdapat sinyal kuat buat menjaga kepentingan kekuasaan dari penguasa, dan tidak memikirkan kepentingan masyarakat.
"Seperti seolah jadi raja menurunkan ke putra mahkota," ucap Ikrar.
Baca juga: Disebut Airlangga Cocok Pakai Baju Kuning, Gibran: Saya Pakai Baju Warna Apa Aja Cocok
Dia mengatakan, jika Presiden Jokowi menegaskan sikapnya dengan melarang Gibran supaya tidak berlaga dalam Pilpres 2024, kemungkinan sikap rakyat akan melunak.
Akan tetapi, jika yang terjadi sebaliknya, menurut Ikrar, bisa memicu kegaduhan baru dalam perpolitikan Tanah Air, dan memberikan contoh buruk dalam proses demokrasi.
"Kalau enggak, ini bukan mustahil terjadi perlawanan rakyat. Bukan dalam artian amuk massa, tapi mereka kemungkinan akan berbalik, dari yang tadinya mendukung menjadi muak. Bisa-bisa akhir jabatannya hard landing, atau bisa jadi crash landing," ujar Ikrar.
Baca juga: Soal Rencana Pertemuan dengan Gibran, Hasto: Hari Ini Kan Sudah Makan Soto
Ikrar mengatakan, Presiden Jokowi seharusnya menyadari jika tidak tegas maka pemerintahan mendatang dan masyarakat yang harus membayar mahal atas kerusakan yang ditimbulkan dari permainan politik melalui proses hukum.
Padahal, menurut Ikrar, bangsa Indonesia sudah sepakat untuk tidak kembali ke masa pemerintahan yang kelam setelah Reformasi 1998 dan menuju kematangan demokrasi pada 2039.
"Tapi kalau sekarang terjadi seperti ini, ini namanya dia memutarbalikkan reformasi. Padahal di 1998 kita sepakat ini adalah point of no return. Bayangkan kalau kita kembali ke titik nol dalam persoalan politik. Itu akan lama mengembalikannya dan menghabiskan banyak uang," papar Ikrar.
Baca juga: Pengamat Duga Gibran Tetap Pilih jadi Cawapres Prabowo
Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua MK Anwar Usman memutuskan menerima sebagian gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan itu dibacakan dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023) lalu.
Dalam putusannya, terdapat 4 hakim konstitusi yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Mereka adalah Suhartoyo, Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams.