Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ICW Nilai KPU Harus Minta Maaf karena Permudah Koruptor Jadi Caleg

Kompas.com - 02/10/2023, 15:44 WIB
Vitorio Mantalean,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) berpandangan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI perlu meminta maaf karena telah merumuskan aturan yang mempermudah koruptor maju sebagai calon anggota legislatif (caleg).

Aturan di dalam Peraturan KPU Nomor 10 dan 11 Tahun 2023 itu belakangan dibatalkan Mahkamah Agung (MA) berdasarkan pengujian undang-undang yang dilayangkan ICW, Perludem, Saut Situmorang, dan Abraham Samad.

"KPU seharusnya meminta maaf kepada masyarakat karena merumuskan Peraturan KPU secara ugal-ugalan," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, kepada Kompas.com pada Senin (2/10/2023).

"Sekarang pilihannya tinggal dua, tunduk pada putusan pengadilan yang menitikberatkan pada kepentingan masyarakat atau tetap berpegang teguh melindungi para mantan terpidana korupsi?" imbuhnya.

Baca juga: MA Perintahkan KPU Cabut Dua Ketentuan yang Mudahkan Eks Terpidana Korupsi Nyaleg

Ia juga mengkritik pernyataan anggota KPU RI Idham Holik yang menyoroti keabsahan Putusan MA Nomor 28/P/HUM/2023 tersebut.

Dua Peraturan KPU itu diundangkan pada 18 April 2023. Sementara itu, berdasarkan Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilu mengatur bahwa jangka waktu maksimal pengujian Peraturan KPU ke MA hanya 30 hari kerja sejak diundangkan.

Dengan fakta itu, batas waktu maksimal pengujian Peraturan KPU itu seharusnya pada 9 Juni 2023. Namun, di dalam putusannya, majelis hakim mengakui bahwa gugatan ICW dkk. diterima Kepaniteraan MA pada 13 Juni 2023.

Argumen ini sebelumnya sudah disampaikan pula oleh KPU RI dalam eksepsinya atas perkara nomor 28/P/HUM/2023 ini.

Namun, dalam putusan yang diunduh dari laman resmi MA, majelis hakim tidak memberikan putusan apa pun terkait eksepsi tersebut.

Baca juga: KPU Soroti Keabsahan Putusan MA yang Batalkan Kemudahan Eks Terpidana Nyaleg

Kurnia menganggap kritik Idham terkait keabsahan putusan itu tak lagi relevan dan ia meminta supaya KPU mencabut aturan yang telah dibatalkan MA.

"Hal yang ia komentari sebenarnya telah tertuang dalam eksepsi dan tidak lagi relevan dibincangkan karena faktanya Mahkamah Agung sudah memutus bahwa dua pasal tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi," jelas Kurnia.

",Jika KPU tetap bersikukuh, maka penyelenggara pemilu tersebut tidak menghormati dan tunduk pada putusan pengadilan. Tentu ini semakin memperlihatkan kualitas yang buruk dari KPU itu sendiri," ungkapnya.

Baca juga: Respons KPU Soal Putusan MA Terkait Syarat Eks Terpidana Korupsi Nyaleg

Sebagai informasi, aturan yang dipermasalahkan ini ada pada Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023.

Kedua pasal di dalam PKPU itu mengatur bahwa masa jeda 5 tahun untuk maju sebagai caleg dikecualikan untuk eks terpidana yang telah menjalani vonis pencabutan hak politik (memilih/dipilih), berapa pun lamanya pencabutan hak politik itu.

Itu artinya, seseorang yang divonis, katakanlah, 10 tahun penjara karena kasus korupsi, bisa maju caleg tanpa menunggu masa jeda 5 tahun, seandainya ia telah menjalani pencabutan hak politik meskipun hanya, misalnya, 2 tahun.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Komisi II Setuju Perbawaslu Pengawasan Pilkada 2024, Minta Awasi Netralitas PJ Kepala Daerah

Komisi II Setuju Perbawaslu Pengawasan Pilkada 2024, Minta Awasi Netralitas PJ Kepala Daerah

Nasional
Sri Mulyani Irit Bicara Soal Skema 'Student Loan' Imbas UKT Mahal

Sri Mulyani Irit Bicara Soal Skema "Student Loan" Imbas UKT Mahal

Nasional
Angka IMDI 2023 Meningkat, Indonesia Disebut Siap Hadapi Persaingan Digital

Angka IMDI 2023 Meningkat, Indonesia Disebut Siap Hadapi Persaingan Digital

Nasional
Kejagung Koordinasi dengan KIP soal Transparansi Informasi Publik

Kejagung Koordinasi dengan KIP soal Transparansi Informasi Publik

Nasional
Penerbangan Jemaah Bermasalah, Kemenag: Performa Garuda Buruk

Penerbangan Jemaah Bermasalah, Kemenag: Performa Garuda Buruk

Nasional
Kemenkes Minta Masyarakat Tidak Khawatir atas Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura

Kemenkes Minta Masyarakat Tidak Khawatir atas Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura

Nasional
Kasus Simulator SIM, Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi

Kasus Simulator SIM, Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi

Nasional
Bobby Berpeluang Diusung Gerindra pada Pilkada Sumut Setelah Jadi Kader

Bobby Berpeluang Diusung Gerindra pada Pilkada Sumut Setelah Jadi Kader

Nasional
Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Nasional
Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Nasional
Kemenkes: Subvarian yang Sebabkan Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Belum Ada di Indonesia

Kemenkes: Subvarian yang Sebabkan Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Belum Ada di Indonesia

Nasional
Sri Mulyani Cermati Dampak Kematian Presiden Iran terhadap Ekonomi RI

Sri Mulyani Cermati Dampak Kematian Presiden Iran terhadap Ekonomi RI

Nasional
Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Nasional
Pernah Dukung Anies pada Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Pernah Dukung Anies pada Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Nasional
Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com