JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia disebut merupakan pionir kebijakan ambang batas pencalonan presiden.
Melalui ketentuan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ini, maka calon presiden dan wakil presiden hanya bisa diusung oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol dengan raihan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Ketentuan itu dinilai sebagai ironi untuk negara yang mengklaim diri menerapkan demokrasi karena menutup ruang untuk sebanyak-banyaknya opsi calon presiden.
"Istilah ini tidak ada di dunia," ujar ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, pada Jumat (14/7/2023).
"Tapi, berkat negara kita tercinta sudah ada yang sekarang yang meniru. Satu-satunya Indonesia yang memakai, lalu ditiru oleh Turki. Jadi hebatnya negara kita, ada yang meniru," ujarnya lagi.
Baca juga: Partai Buruh Uji Materi Presidential Threshold ke MK Pekan Depan, Jadi Gugatan Ke-31
Di Turki, besaran ambang batas pencalonan presiden hanya lima persen dari suara sah pemilu sebelumnya. Jumlah ini jauh lebih bersahabat daripada Indonesia.
Tingginya ambang batas ini membuat desain pilpres tidak akan lebih dari tiga pasangan calon, termasuk pada pemilihan umum (Pemilu) 2024 mendatang.
Ambang batas pencalonan presiden ini problematik dan kerap disalahartikan sebagai "presidential threshold".
Padahal, presidential threshold merupakan ambang batas untuk menentukan kemenangan calon presiden (capres) yang sudah diatur dalam UUD 1945, yaitu raihan suara 50 persen plus 1, serta menang di separuh provinsi dengan perolehan suara sedikitnya 20 persen.
Di dalam konstitusi, tidak ada aturan presidential threshold jika yang dimaksud adalah ambang batas pencalonan.
Konstitusi justru menegaskan bahwa presiden dan wakil presiden dicalonkan partai politik peserta pemilu sebelum pemilu, bukan pemilu sebelumnya.
Ini membuat ketentuan itu problematik. Dalam catatan Kompas.com, pasal itu sudah 30 kali digugat ke Mahkamah Konstitusi sejak terbit pada 2017.
Baca juga: Rasionalitas Pengecualian Presidential Threshold bagi Partai Baru
Penggugat datang dari berbagai kalangan, mulai dari perorangan, pegiat pemilu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pakar hukum tata negara, parpol peserta pemilu sebelumnya, parpol yang tak kebagian kursi di DPR hingga parpol peserta Pemilu 2024.
Seluruh gugatan itu mental. MK sudah berulang kali menolak atau menyatakan permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu tidak dapat diterima karena ragam sebab.
Secara garis besar, MK kerap mempersoalkan kedudukan hukum para pemohon dan berdalih bahwa ambang batas pencalonan presiden merupakan produk kebijakan terbuka (open legal policy) yang idealnya tak diintervensi kekuasaan kehakiman.