JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi akhirnya ditetapkan oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI sebagai tersangka dugaan suap proyek di lingkungan Basarnas, Senin (31/7/2023).
Selain Henri Alfiandi, Puspom TNI juga menetapkan Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka.
Penetapan tersangka oleh Puspom TNI ini hanya berjarak beberapa waktu sejak kisruh penanganan kasusnya.
Sebelumnya, Henri Alfiandi dan Afri sudah ditetapkan tersangka oleh KPK setelah lembaga antirasuah itu melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7/2023).
Baca juga: Kepala Basarnas Ditetapkan Tersangka dan Janji TNI Tutup Celah bagi Koruptor
Namun, Puspom TNI menilai Henri dan Afri yang berstatus prajurit aktif seharusnya diproses hukum oleh mereka, bukan oleh KPK, kendati jabatan Basarnas adalah jabatan sipil.
Usai menyampaikan permintaan maaf untuk Panglima TNI, KPK akhirnya menyerahkan penanganan kasus yang menjerat Henri dan Afri ini ke Puspom TNI.
Hanya saja, KPK menggarisbawahi perihal pentingnya membuat tim koneksitas KPK-TNI dalam penanganan perkara tersebut.
Sikap Puspom TNI mengacu pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur bahwa pihak yang berwenang mengusut kasus hukum prajurit aktif hanyalah oditur militer, walaupun tindak pidana itu dilakukan di ranah sipil.
Padahal, Pasal 47 ayat (3) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) mengatur, prajurit aktif yang duduk di beberapa lembaga sipil yang diperbolehkan, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu.
Pasal 65 ayat (2) UU TNI juga menegaskan bahwa prajurit hanya tunduk kepada kekuasaan peradilan militer "dalam hal pelanggaran hukum pidana militer" dan harus dibawa ke peradilan umum jika melakukan tindak pidana umum.
Kemudian, Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa lembaga antirasuah itu adalah pihak yang "berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".
Baca juga: TNI Bantah Intimidasi Pimpinan KPK Terkait Kasus Dugaan Suap di Basarnas
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, di dalam dunia hukum, terdapat adagium bahwa peraturan yang baru harus lebih diutamakan ketimbang yang lama.
Oleh karenanya, dalam hal pengusutan kasus korupsi yang dilakukan prajurit, UU Peradilan Militer dapat dikesampingkan dibandingkan UU TNI dan UU KPK yang terbit lebih anyar.
"Kalau yang dilanggar pidana sipil, ya harusnya semua orang kan sama di hadapan hukum, harusnya tidak boleh ada pembedaan," kata pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu ketika ditemui Kompas.com, Senin.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid mengatakan, sikap TNI yang eksklusif dinilai sebagai kemunduran. Sebab, mereka bukan lagi unsur istimewa sejak Reformasi yang mengamanatkan supremasi sipil.