Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bakal Ajukan "Judicial Review", IDI Soroti Poin-poin Krusial dalam UU Kesehatan

Kompas.com - 13/07/2023, 10:36 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bagus Santosa

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyoroti sejumlah poin krusial dalam Undang-undang (UU) Kesehatan yang menjadi bahan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Poin-poin krusial tersebut meliputi hilangnya anggaran wajib minimal (mandatory spending) di bidang kesehatan yang berpotensi menciptakan privatisasi, hingga hilangnya partisipasi publik yang bermakna.

Adapun judicial review akan ditempuh bersama empat organisasi profesi lainnya, yaitu Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

 Baca juga: UU Kesehatan Dinilai Cacat Prosedur, IDI Siapkan Upaya Judicial Review ke MK

"Maka kami dari Ikatan Dokter (Indonesia) bersama dengan empat organisasi profesi akan menyiapkan upaya hukum sebagai bagian tugas sebagai masyarakat yang taat hukum untuk mengajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia," kata Ketua Umum PB IDI, Adib Khumaidi dalam keterangan video, dikutip Kamis (13/7/2023).

Adib menyampaikan, poin krusial yang pertama adalah apakah UU tersebut sudah mencerminkan kepentingan kesehatan rakyat. Hal ini mengingat pembahasannya terbilang cepat sejak dimulai pada tahun lalu.

Bahkan, diskusi publik termasuk dalam penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) terjadi hanya pada Februari hingga April 2023. Selanjutnya, produk hukum itu melenggang leluasa hingga disahkan menjadi UU pada Selasa (11/7/2023).

"Kita melihat ketergesa-gesaan ini, keterburu-buruan ini menjadi sebuah cerminan bahwa regulasi ini dipercepat. Apakah kemudian ada konsekuensi karena kepentingan-kepentingan yang lain? Kami dari kelompok profesi tidak paham dengan hal seperti itu," ucap Adib.

Baca juga: Tolak UU Kesehatan, Partai Buruh Siapkan Aksi Besar-besaran di DPR

Poin kedua, sejauh mana UU Kesehatan mampu mencerminkan atau mewujudkan cita-cita dan upaya transformasi kesehatan yang digadang-gadang pemerintah.

Ia khawatir, transformasi kesehatan hanyalah sebuah janji manis yang dilembagakan dalam regulasi UU Kesehatan. Hal ini kata Adib, perlu membutuhkan pembuktian.

"Apakah memang konsep transformasi kesehatan keberpihakan terhadap kesehatan rakyat Indonesia, keberpihakan terkait dengan kemandirian kesehatan, termasuk juga keberpihakan terkait dengan SDM tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam negeri. Apakah itu sudah tercermin di dalam undang-undang ini?" tuturnya.

Poin selanjutnya, sejauh mana UU Kesehatan telah memenuhi asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ia ingin melihat sejauh mana UU Kesehatan mampu menciptakan kemudahan akses kesehatan bagi masyarakat dan menciptakan jaminan pembiayaan kesehatan.

Sebab, pasal terkait anggaran wajib minimal di bidang kesehatan sebesar 5 persen justru dihapus dalam UU yang baru.

"Itu berarti masyarakat rakyat secara kuantitas tidak mendapatkan kepastian hukum dalam pembiayaan kesehatan. Masyarakat akan dihadapkan dengan upaya membangun kesehatan melalui sumber pendanaan di luar APBN dan APBD," ungkap Adib.

Hilangnya mandatory spending, lanjut Adib, justru bukan tidak mungkin pendanaan kesehatan melalui pinjaman privatisasi, komersialisasi, maupun bisnis lainnya di bidang kesehatan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Sidang Asusila Ketua KPU, Anggota Komnas HAM dan Perempuan Jadi Ahli

Sidang Asusila Ketua KPU, Anggota Komnas HAM dan Perempuan Jadi Ahli

Nasional
Belanja Negara Makin Besar, Jokowi Minta BPKP Inovasi Gunakan Teknologi Digital

Belanja Negara Makin Besar, Jokowi Minta BPKP Inovasi Gunakan Teknologi Digital

Nasional
Pegawai Protokol Kementan hingga Pihak Swasta Jadi Saksi Sidang Kasus Korupsi SYL

Pegawai Protokol Kementan hingga Pihak Swasta Jadi Saksi Sidang Kasus Korupsi SYL

Nasional
Ketua KPK Ogah Tanggapi Masalah Ghufron Laporkan Dewas ke Bareskrim

Ketua KPK Ogah Tanggapi Masalah Ghufron Laporkan Dewas ke Bareskrim

Nasional
KPU Sebut Upaya PPP Tembus Parlemen Kandas Sebab Gugatan Banyak Ditolak MK

KPU Sebut Upaya PPP Tembus Parlemen Kandas Sebab Gugatan Banyak Ditolak MK

Nasional
Dugaan Rayu PPLN, Ketua KPU Hadiri Sidang DKPP Bareng Korban

Dugaan Rayu PPLN, Ketua KPU Hadiri Sidang DKPP Bareng Korban

Nasional
Jokowi Ingatkan BPKP untuk Cegah Penyimpangan, Bukan Cari Kesalahan

Jokowi Ingatkan BPKP untuk Cegah Penyimpangan, Bukan Cari Kesalahan

Nasional
Indonesia Jadi Tuan Rumah WWF 2024, Fahira Idris Paparkan Strategi Hadapi Tantangan SDA

Indonesia Jadi Tuan Rumah WWF 2024, Fahira Idris Paparkan Strategi Hadapi Tantangan SDA

Nasional
Asa PPP Tembus Parlemen Jalur MK di Ambang Sirna

Asa PPP Tembus Parlemen Jalur MK di Ambang Sirna

Nasional
Ingatkan BPKP Jangan Cari-cari Kesalahan, Jokowi: Hanya Akan Perlambat Pembangunan

Ingatkan BPKP Jangan Cari-cari Kesalahan, Jokowi: Hanya Akan Perlambat Pembangunan

Nasional
Ada Serangan Teroris di Malaysia, Densus 88 Aktif Monitor Pergerakan di Tanah Air

Ada Serangan Teroris di Malaysia, Densus 88 Aktif Monitor Pergerakan di Tanah Air

Nasional
Mahfud Blak-blakan Hubungannya dengan Megawati Semakin Dekat Sesudah Ditunjuk Jadi Cawapres

Mahfud Blak-blakan Hubungannya dengan Megawati Semakin Dekat Sesudah Ditunjuk Jadi Cawapres

Nasional
Mahfud Nilai Pemikiran Megawati Harus Diperhatikan jika Ingin Jadi Negara Maju

Mahfud Nilai Pemikiran Megawati Harus Diperhatikan jika Ingin Jadi Negara Maju

Nasional
Mahfud Pesimistis dengan Pemberantasan Korupsi di Era Prabowo-Gibran

Mahfud Pesimistis dengan Pemberantasan Korupsi di Era Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Akui Langkah Ghufron Laporkan Anggota Dewas ke Polisi Gerus Reputasi Lembaga

KPK Akui Langkah Ghufron Laporkan Anggota Dewas ke Polisi Gerus Reputasi Lembaga

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com