JAKARTA, KOMPAS.com - Teka-teki yang menyelimuti Pondok Pesantren Al Zaytun serta pimpinannya, Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, dan dugaan afiliasi dengan gerakan bawah tanah Negara Islam Indonesia (NII) sudah pernah disampaikan oleh sejumlah perwakilan umat Islam jauh-jauh hari.
Lembaga pendidikan itu menjadi sorotan publik lantaran penuh kontroversi. Selain itu, umat Islam juga mempertanyakan sumber dana buat membangun kompleks pondok pesantren yang cukup megah yang terletak di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Dari segi ibadah, Ponpes itu menerapkan cara yang tidak biasa, misalnya saf shalat Idul Fitri 1444 Hijriah yang bercampur antara laki-laki dan perempuan.
Bahkan, ada satu orang perempuan sendiri berada di depan kerumunan laki-laki.
Karena kontroversi itu, pemerintah bakal menerapkan sanksi administrasi hingga sanksi pidana.
Baca juga: Mengurai Jejak Panji Gumilang dan Al Zaytun dalam Jaringan NII
Selain menerapkan cara beribadah yang berbeda, Panji juga disebut-sebut terkait dengan gerakan Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9 (NII KW 9).
Meski sudah beberapa kali dilaporkan, keberadaan kelompok NII KW 9 disebut-sebut tidak mudah dibuktikan karena selalu bergerak di bawah tanah.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sudah menyampaikan tentang sepak terjang NII yang meresahkan umat Islam kepada pemerintah sekitar 12 tahun silam.
Mereka bahkan mengimbau supaya pemerintah jangan terus membiarkan isu NII mengambang tanpa kejelasan. Penyebabnya jika hal itu dibiarkan dianggap kian meresahkan, mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus mengusik rasa aman masyarakat.
DDII juga menilai gerakan NII tidak sesuai dengan Islam.
Baca juga: Ridwan Kamil Sebut Keputusan Pemerintah soal Al Zaytun Disampaikan Pekan Depan
"Mereka membenarkan tindakan mencuri dan sebagainya. Kelompok ini ingin menodai Islam karena Islam tidak membenarkan tindakan seperti itu. Jadi, jangan karena ingin mendirikan negara Islam, tetapi menggunakan cara yang menghalalkan segala cara," kata Ketua DDII Syuhada Bahri, di Kompleks Istana Presiden, seperti dikutip dari surat kabar Kompas edisi 13 Mei 2011.
Saat itu Syuhada ditemani sejumlah pengurus DDII yang menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut Syuhada, saat ini orang tidak perlu mengada-ada dengan melakukan gerakan mendirikan negara yang tidak seusai dengan NKRI dan dasar negara Pancasila.
"Ya, sudahlah, Indonesia saja. Di dalam Pancasila, ada Ketuhanan Yang Maha Esa, orang bisa menjabarkannya sesuai dengan sisi pandangnya masing-masing," ujar Syuhada.
Baca juga: Panji Gumilang Dilaporkan Pendiri NII Crisis Center ke Bareskrim Polri
Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Ali Munhanif saat itu mengatakan, kelompok NII yang masih bergerak di bawah tanah mengalami pasang surut selama puluhan tahun, dan pemerintah mengetahuinya.
Dia mengatakan, beberapa mantan anggota atau pejabat NII juga sudah memberikan kesaksian dan informasi penting mengenai gerakan itu.
Begitu pula sejumlah pengamat dengan analisisnya. Namun, pemerintah membiarkan semuanya berlarut-larut, tanpa tindakan tegas. Kisruh NII akhirnya terus menjadi mengambang, penuh teka-teki, termasuk keberadaan Pondok Pesantren Al-Zaytun yang kerap dipenuhi tanda tanya.
"Semakin dibiarkan mengambang, isu ini kian memberikan peluang dimanfaatkan bagi kepentingan politik tertentu," kata Ali.
Baca juga: Ponpes Al-Zaytun, Disebut Terafiliasi NII tapi Tetap Beroperasi Selama 30 Tahun
Menurut Ali, jika gerakan NII tidak ditindak tegas dan kekuatan di belakang Ponpes Al Zaytun tak diungkap, maka hal itu berbahaya karena bisa memunculkan ancaman dari dalam terhadap kedaulatan NKRI.
Isu ini juga kembali membuka konflik lama antara kelompok nasionalis dan Islam yang sebenarnya dianggap sudah selesai.