Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Legalitas Dana Kampanye Kian Dipertanyakan Usai KPU Hapus Wajib Lapor Sumbangan Kampanye

Kompas.com - 13/06/2023, 18:32 WIB
Vitorio Mantalean,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) khawatir dihapusnya ketentuan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) membuat peserta pemilu semakin leluasa melanggar ketentuan dana kampanye.

Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil mengatakan, dihapusnya LPSDK yang dulunya dilaporkan di tengah masa kampanye bakal membuat masa kampanye Pemilu 2024 tak ubahnya ruang gelap.

Sebab, menurutnya, tak menutup kemungkinan para peserta pemilu semakin leluasa menggunakan uang dari sumber-sumber ilegal untuk berkampanye.

"Pasti (penghapusan ini membuka celah masuknya dana gelap kepada peserta pemilu), karena tidak ada lagi ruang untuk mengawasi penerima atau pemberi sumbangan dana pemilu," kata Fadli kepada wartawan Selasa (13/6/2023).

Baca juga: Wajib Lapor Sumbangan Dihapus, Bawaslu Sulit Awasi Aliran Dana Kampanye 2024

Bukan hanya dianggap membuka ruang masuknya dana-dana ilegal, dihapusnya LPSDK juga dianggap membuat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tak mempunyai pijakan untuk menindak pelanggaran ketentuan dana kampanye seperti batas maksimal dana sumbangan dan larangan menerima sumbangan dari pihak asing.

Fadli lantas meragukan klaim Bawaslu bahwa pengawasan dana kampanye bisa dilakukan walaupun tak ideal, dengan membandingkan dua laporan tersisa yang diwajibkan KPU, yaitu Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan-Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).

"Dengan dihapusnya instrumen LPSDK, maka Bawaslu tidak bisa mengecek peserta pemilu yang melanggar ketentuan sumbangan kampanye. Akhirnya, Bawaslu tidak bisa menjatuhkannya sanksi sebagaimana diatur dalam UU Pemilu," ujar Fadli.

Baca juga: KPU: Sumbangan Dana Kampanye Tetap Wajib Dilaporkan

Fadli juga mempertanyakan alasan sesungguhnya KPU menghapus ketentuan LPSDK.

"Saya enggak tahu apakah penghapusan ini karena memang perspektif KPU yang bermasalah, atau ini sedang menjalankan pesan dari kekuatan politik, pesanan tertentu, saya tidak tahu," katanya

Sebelumnya diberitakan, rencana KPU menghapus LPSDK diungkapkan Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu Idham Holik dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR RI pada akhir Mei 2023.

Ia beralasan, LPSDK dihapus lantaran tak tercantum secara eksplisit di dalam UU Pemilu. KPU juga berdalih bahwa dihapusnya LPSDK berkaitan dengan singkatnya masa kampanye Pemilu 2024 yang hanya 75 hari.

Sebagai informasi, penerapan LPSDK sebetulnya sudah menjadi warisan sejak Pemilu 2014.

Baca juga: Penjelasan KPU soal Dihapusnya Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye

Dosen hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menganggap kebijakan ini bermasalah karena tidak semua kandidat yang bertarung dalam kontestasi memiliki uang yang banyak untuk mendanai kampanyenya.

Dengan tingginya ongkos politik di Indonesia, keterlibatan sumbangan dari pihak ketiga kerap kali dituding sebagai salah satu penyebab korupsi yang terjadi ketika kandidat tersebut terpilih sebagai pejabat.

"Sangat mungkin ada peserta yang banyak aktivitas kampanyenya tapi tidak jelas pemasukannya dari mana mengingat harta kekayaannya tidak terlalu besar," kata Titi kepada Kompas.com pada 31 Mei 2023.

"LPSDK ini praktik baik yang mestinya menjadi komitmen semua pihak untuk mewujudkan pemilu bersih dan antikorupsi," ujarnya lagi.

Aspek transparansi ini krusial karena calon anggota legislatif (caleg) juga tidak diwajibkan melaporkan harta kekayaan sebelum mencalonkan diri.

"Durasi kampanye memang pendek hanya 75 hari, tapi justru karena makin pendek, sangat mungkin peserta pemilu akan jor-joran mengeluarkan belanja kampanye untuk penetrasi pemilih agar di waktu yang sempit bisa optimal mempengaruhi pemilih. Di situ lah krusial dan strategisnya LPSDK," kata Titi.

Baca juga: KPU Dorong Peserta Pemilu Daily Update Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com