Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rino Irlandi
Peneliti

Alumnus Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Membedakan Dugaan Pelanggaran Kode Etik dan Tindak Pidana Korupsi pada Kasus Lili Pintauli Siregar

Kompas.com - 22/07/2022, 08:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA April 2022, Lili Pintauli Siregar, yang saat itu masih menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diduga telah melakukan pelanggaran kode etik karena menerima gratifikas dari PT Pertamina berupa tiket menonton MotoGP di Mandalika dan fasilitas penginapan di Amber Lombok Beach Resort, Nusa Tenggara Barat (NTB). Lili kemudian dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait dugaan pelanggaran kode etik tersebut.

Laporan itu didasarkan pada Pasal 37 B huruf (d) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU KPK) yang menyatakan bahwa salah satu tugas Dewas KPK adalah: "menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Ppmpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini." Pasal 37 B huruf (e) UU KPK juga menyatakan bahwa salah satu tugas Dewan Pengawas KPK adalah: "menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi".

Baca juga: Kasus Lili Pintauli Siregar dan Degradasi Marwah KPK

Berdasarkan aturan itu, kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Lili Pintauli Siregar pun diperiksa Dewas KPK. Pada 27 April 2022, Dewas KPK memanggil dan memeriksa Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina, Nicke Widyawati. Nicke diperiksa untuk memberikan keterangan mengenai kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Lili.

Satu bulan kemudian, giliran Lili diperiksa Dewas KPK. Namun, ketika Lili di panggil kembali Dewas KPK pada 5 Juli 2022, Lili absen. Dia berdalih, dirinya mewakili unsur pimpinan KPK untuk menghadiri pertemuan putaran kedua G20 Anti-Corruption Working Gorup (ACWG) di Bali.

Dalih yang dilontarkan Lili jelas merupakan alibi. Sebab, agenda pertemuan semacam ini sebenarnya bisa diwakili unsur pimpinan KPK yang lain, sehingga dia bisa saja menghadiri sidang pelanggaran etiknya di ruang sidang Dewas KPK.

Pada 11 Juli, Dewas KPK kembali berencana menyelenggarakan sidang etik kasus Lili. Namun, belum sempat menyelenggarakan sidang, kasus dugaan pelanggaran etik Lili gugur dengan sendirinya karena Lili telah mengundurkan diri dari KPK. Dewas KPK menilai Lili bukan lagi orang yang bisa disidang oleh mereka.

Dari sudut pandang hukum, kita bisa menerima alasan yang dibangun Dewas KPK. Sebab, Pasal 37 B huruf (e) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU KPK) menyatakan bahwa yang menjadi subjek sidang pelanggaran kode etik Dewas KPK adalah pimpinan dan pegawai KPK. Maka, dengan dikeluarkannya surat pengunduran diri Lili oleh Presiden Joko WIdoso, secara otomatis Lili bukan lagi pimpinan KPK.

Jumpa pers Dewas KPK soal pengunduran diri Lili Pintauli Siregar dari pimpinan KPK di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Senin (11/7/2022). KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA Jumpa pers Dewas KPK soal pengunduran diri Lili Pintauli Siregar dari pimpinan KPK di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Senin (11/7/2022).
Tetap harus diproses hukum

Meski keputusan Dewas KPK itu bisa diterima secara hukum, bukan berarti kasus gratifikasi yang menimpa Lili dihentikan begitu saja. Kita harus membedakan antara proses hukum dugaan pelanggaran kode etik dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pimpinan dan pegawai KPK sebagai penyelenggara negara.

Menurut Peraturan Dewas KPK Nomor 01 Tahun 2020 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK, kode etik merupakan sekumpulan prinsip moral yang diterima, ditanamkan, dan diaplikasikan secara konsisten oleh seluruh insan di dalam suatu organisasi atau kelompok profesi yang disusun untuk memandu wujud perilaku seluruh insan di dalam organisasi atau kelompok profesi dimaksud.

Baca juga: Respons Lili Pintauli Siregar Usai Sidang Etik Digugurkan Dewas KPK

Dalam peraturan a quo, terdapat lima nilai dasar kode etik KPK, yaitu: (1) integritas; (2) sinergi; (3) keadilan; (4) profesionalisme; dan (5) kepemimpinan. Dari lima nilai dasar kode etik ini, menolak setiap gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban, yang diberikan secara langsung, masuk ke dalam nilai intergritas.

Lalu bagaimana penegakkannya? Kalau kita mengacu pada Peraturan Dewas KPK Nomor 02 Tahun 2020 Tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK, penegakannya berupa sanksi kepada pelanggar kode etik. Sanksi paling berat yang diterima oleh pelanggar kode etik adalah diminta mengundurkan diri atau diberhentikan secara tidak hormat sebagai pegawai dan pimpinan KPK.

Dari sisi ini, kasus Lili Pintauli Siregar dapat dianggap selesai karena dia bukan lagi pimpinan KPK. Namun, dari sisi tindak pidana korupsi, kasus eks Pimpinan KPK itu tidak bisa dianggap beres begitu proses penegakan kode etiknya selesai. Pasal 12B Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menyatakan: "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya".

Penjelasan pasal tersebut mengartikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Selain itu, pemberian dan penerimaan gratifikasi dapat terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri serta dapat dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun tanpa sarana elektronik.

Dari kasus yang menimpanya, Lili Pintauli Sireger diduga menerima pemberian tiket MotoGP di Mandalika (barang) dan fasilitas penginapan di Amber Lombok Beach Resort saat dia menjabat sebagai penyelenggara negara (pimpinan KPK). Itu artinya, Lili berpotensi dikenakan delik pasal yang mengatur gratifikasi. Namun, harus dibuktikan apakah gratifikasi itu berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya saat menjabat sebagai pimpinan KPK atau tidak.

Oleh karena itu, kasus yang menimpa Lili harus diselidiki dan diungkap oleh aparat penegak hukum. Apalagi, mundurnya Lili dari KPK sebenarnya menyiratkan bahwa telah terjadi "sesuatu" yang membuat dia harus kehilangan jabatannya di lembaga itu. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Berebut Lahan Parkir, Pria di Pondok Aren Gigit Jari Rekannya hingga Putus

Berebut Lahan Parkir, Pria di Pondok Aren Gigit Jari Rekannya hingga Putus

Nasional
Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Nasional
Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat 'Smart Card' Haji dari Pemerintah Saudi

Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat "Smart Card" Haji dari Pemerintah Saudi

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Nasional
Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Nasional
Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Nasional
Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri 'Triumvirat' dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri "Triumvirat" dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Nasional
Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Nasional
Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal 'Food Estate'

Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal "Food Estate"

Nasional
Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Nasional
Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Nasional
Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Nasional
Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com