SEORANG remaja memberanikan diri bertanya kepada Kiai Dahlan, pendiri Muhamadiyah. “Agama itu apa, Kiai?” Sebuah pertanyaan singkat, padat, namun penuh esensi. Kisah inspiratif itu dimuat di majalah Suara Muhamadiyah.
Kiai Dahlan yang terdiam, tak ada kalimat yang meluncur dari mulutnya. Ia tak menjawab pertanyaan itu. Sejenak kemudian, ia malah memainkan biola yang ada di sampingnya. Keluarlah nada-nada indah dari biola tersebut. Para remaja itu tampak sangat menikmati permainan biola sang Kiai. Penuh syahdu dan menentramkan jiwa. Semua menikmati keindahan alunan biola.
“Apa yang kalian rasakan setelah mendengarkan suara biola tadi?” tanya sang Kiai sejenak setelah menghentikan permainan biola.
Baca juga: Puasa Ramadhan, Ketakwaan, dan Pancasila
“Keindahan,” jawab remaja pertama dengan semringah.
“Kayak mimpi,” timpal remaja kedua.
Salah seorang yang lain masih mengangguk-ngangguk dengan mata tertutup, tertidur dengan keindahan nada yang tadi diperdengarkan Kiai.
“Itulah agama,” kata Kiai.
“Orang beragama adalah orang yang merasakan keindahan, tenteram, damai, cerah. Karena hakikat agama itu seperti musik, mengayomi, menyelimuti,” sambung sang Kiai.
“Sekarang, coba kamu mainkan,” kata Kiai sambil menyodorkan biola ke salah seorang santrinya.
“Ayo sebisanya!”
Si santri mulai memainkan biola. Namun karena baru pertama kalinya, ia memainkan dengan seadanya.
“Teruskan. Ayo yang mantap.”
Suara yang keluar mengusik orang-orang di sekitarnya. Sampai akhirnya dia pun menyerah.
“Apa yang kalian rasakan,” Kiai kembali bertanya.
“Kacau, Kiai.” Satu di antaranya menjawab.