Sambil tersenyum, Kiai merasa saatnya ia mengambil kesimpulan. Para santrinya dianggap telah bisa memahami pesan di balik peristiwa yang barusan terjadi.
“Itulah agama. Kalau kita tidak mempelajarinya dengan benar, itu akan membuat resah lingkungan kita dan jadi bahan tertawaan,” ujar sang Kiai.
Perayaan Idul Fitri 1443 Hijriah adalah lebaran ketiga di masa pandemi. Bangsa Indonesia membutuhkan nilai Ramadhan untuk memperkokoh kerukunan, persatuan, dan harmoni bangsa. Ramadhan menjadi momentum bagi bangsa ini untuk bangkit dan meraih kemenangan melawan pandemi covid-19.
Saum Ramadhan, mengajarkan kita bahwa kebersamaan (berjamaah) adalah penuh berkah dan menjadikan sesuatu yang berat menjadi ringan. Islam senantiasa mengajarkan umatnya untuk mencintai sesama dan hidup rukun dan damai.
Idul Fitri merupakan perayaan keagamaan bagi muslim yang sukses menyelesaikan ibadah saum Ramadan menjadi orang yang bertaqwa.
Perayaan Idul Fitri sangat dirindukan umat Islam di seluruh penjuru dunia karena sarat akan makna serta nuansa spiritual dan sosial. Setidaknya terdapat tiga makna esensi lebaran Idul Fitri, yaitu kemenangan, kebahagiaan, dan harmoni yang sangat penting dimiliki, dihayati dan diimplementasikan dalam rangka meraih derajat ketakwaan untuk merajut silaturahmi keumatan dan kebangsaan.
Baca juga: Hoaks yang Beredar Sepanjang Ramadhan dan Idul Fitri 2022
Ini menjadi fondasi bangsa yang perlu diamalkan segenap bangsa untuk menghadapi ancaman disintegrasi yang semakin menguat.
Tempaan tarbiah saum Ramadhan memberi kita pendidikan untuk meresapi dan mampu menghayati luapan cinta (mahabah) dari Allah kepada umatnya. Ibadah (ritual) untuk menemukan hakekat dari cara kita berbalas cinta Tuhan dan meresonansi cinta itu tidak saja kepada manusia, tapi juga kepada semesta alam.
Sejatinya tarbiah saum Ramadhan mengajarkan kita menjadi pribadi yang santun, welas asih, peduli, berempati, simpati, dan penuh ketulusan yang terlahir dari luapan cinta.
Sangat prihatin mengamati silaturahmi pergaulan warga bangsa di media sosial maupun dalam dunia nyata saat ini, yang masih sarat dengan perilaku yang tidak mencerminkan moralitas dan spiritualitas.
Saat Ramadhan, masih saja ada pihak yang dengan gampang tak ada beban menuduh, menghujat, mencela, menghina, membunuh karakter orang lain, bahkan menyebar informasi yang berpotensi fitnah. Bahkan ada sekelompok orang yang mengatasnamakan “agama” saat melakukan kekerasan verbal maupun fisik.
Asabiah dalam konteks politik karena pilihan saat pemilu presiden (pilpres) dan afiliasi partai politik sepertinya masih dipelihara untuk menebar kekerasan verbal bahkan kekerasan fisik, mendiskriditkan pihak lain, dan memelihara prasangka buruk. Menghadirkan karakter merasa diri paling benar, dan orang lain yang bukan kelompoknya selalu dianggap salah dan senantiasa menebar kebencian karena solidaritas kelompok yang kuat.
Sepertinya polarisasi “kadrun” dan “cebong” hinggga saat ini belum berakhir oleh sekelompok orang yang belum mampu move on meski pilpres dan pemilu sudah lama usai.
Idul Fitri sejatinya adalah spirit kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu dan memerdekakan diri dari syahwat perut dan di bawah perut, nafsu serakah, godaan setan, dan sebagainya.
Menurut Imam Al-Ghazali, pendidikan Ramadhan menjadi proses transformasi muslim dari manusia yang berwatak sebagai budak nafsu (abdulhawa) menjadi hamba Allah (abdullah) yang bertakwa: beriman, berilmu, dan beramal saleh.