Kemenangan atas hawa nafsu merupakan modal utama menjadi manusia yang berlebaran dalam arti memperoleh ampunan dari Allah atas segala kesalahan dan dosa-dosa masa lalu. Kemenangan spritual atas hawa nafsu dan godaan setan meneguhkan spirit kemanusiaan baru untuk berkomitmen menjadi hamba Tuhan yang lebih bertakwa dan berakhlak mulia.
Psikologi Lebaran meniscayakan peleburan aneka karakter kebinatangan untuk ditransformasi menjadi karakter dan nilai ketuhanan dengan meneladani sifat-sifat Allah yang Maha Rahim penuh kasih sayang.
Sejatinya saum Ramadhan akan mengokohkan energi persaudaraan dan persatuan. Jika persatuan nasional sudah terjadi maka bangsa Indonesia akan siap menghadapi segala bentuk tantangan dan menyongsong kejayaannya.
Idul Fitri momentum bagi kita semua untuk kembali menyambung tali persaudaraan yang sempat terkoyak karena berbagai faktor. Tidak ada alasan untuk tidak saling memaafkan sesama anak bangsa saat bersilaturahmi.
Dalam konteks terkini budaya silaturahmi dan saling memaafkan satu sama lain demikian relevan untuk diterapkan dan diamalkan. Perwujudan nyata ajaran Islam rahmatan lil alamin adalah silaturahmi untuk memperkuat trilogi ukhuwah, yaitu ukhuwah Islamiyyah, ukhuwah wathaniyyah dan ukhuwah basyariyah. Saum Ramadhan sejatinya dapat membakar semua sikap egoistis.
Tanggalkan semua rasa iri dan dengki apalagi permusuhan. Mari menggenggam tangan bersama-sama merajut tali persaudaraan dan hadirkan harmoni bagi negri.
Terminologi halal bi halal yang identik dengan silaturahmi saat Idul Fitri, secara historis lahir dari hasil diskusi Presiden Soekarno dengan Kiai Wahab Chasbullah saat dimintai pendapat perihal situasi nasional yang tengah bergejolak. Kiai Wahab kemudian mengusulkan kegiatan halal bi halal dan usulan tersebut disetujui Bung Karno.
Maka lahirlah acara kenegaraan pertama kali tahun 1948 di Istana Negara. Menghadirkan segenap elite-elite politik saat itu yang tengah bertikai diundang ke istana untuk duduk bersama, saling memaafkan satu sama lain untuk mengokohkan persaudaraan dan merajut harmoni negri.
Antropolog Amerika, Clifford Geertz, dalam bukunya The Relegious Of Java, menulis Lebaran Idul Fitri merupakan wadah yang mampu mengakomodasikan perbedaan dan sebagai arena solidaritas, di mana anggota-anggota masyarakat yang tadinya terpisah secara vertikal maupun horisontal akibat perbedaan ideologi dan orientasi primordial mencair sehingga ia menempatkan Lebaran sebagai momen integrasi masyarakat.
Manusia secara fitrah tidak bisa luput dari kekhilafan dan kesalahan. Momentum Idul Fitri adalah momentum yang tepat untuk saling meminta dan memberi maaf. Mari enyahkan semua sikap egoistis. Tanggalkan semua rasa iri dan dengki apalagi permusuhan yang ada pada diri sesama anak bangsa.
Mari menggenggam tangan bersama-sama merajut tali persaudaraan dan persatuan untuk merawat dan mengokohkan harmoni bagi negri. Semoga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.