JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menilai Jaksa Pinangki Sirna Malasari tidak bisa membuktikan uang warisan yang berasal dari almarhum suami pertamanya, Djoko Budihardjo.
Selama proses persidangan kasus korupsi terkait kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA), pihak Pinangki membantah melakukan tindak pidana pencucian uang karena biaya hidupnya juga berasal dari warisan almarhum suaminya.
"Untuk membuktikan apakah benar dari suami terdakwa atau sumber lain dalam hal ini Djoko Tjandra, tidak cukup hanya membuat perbandingan harta 9 bulan sebelum kenal Djoko Tjandra, tetapi harus dibuktikan berapa pemberian suami terdakwa, apakah dalam mata uang rupiah atau dalam mata uang lain," kata majelis hakim yang diketuai Ignatius Eko Purwanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (8/2/2021) dikutip dari Antara.
Selain itu, menurut majelis hakim, tidak ada saksi lain yang dapat menjelaskan berapa uang yang diterima oleh Pinangki.
Padahal, di sisi lain, hakim melihat sejumlah hal yang janggal dari cara pembayaran Pinangki.
"Di sisi lain cara terdakwa melakukan pembayaran tidak biasa, seperti membayar mobil BMW dengan cara tunai tetapi dalam waktu berdekatan atau dengan cara layering," ujar hakim Eko.
Pinangki juga disebutkan tidak bisa menunjukkan receipt untuk pembayaran transaksi di luar negeri karena tidak ada pergerakan uang keluar di rekening Pinangki.
Saat penukaran mata uang asing di money changer pun, Eko mengungkapkan, Pinangki selalu menggunakan nama orang lain.
Baca juga: Beberkan Bukti Percakapan soal Grasi Anas Maamun, Hakim Sebut Jaksa Pinangki Terbiasa Urus Perkara
Pinangki, kata hakim, juga membayar kartu kredit dengan nominal yang lebih banyak agar dapat menjadi deposit sehingga seolah-olah uang berasal dari sumber yang sah.
Majelis hakim juga menyinggung Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Pinangki yang tidak tercantum warisan almarhum suaminya.
"Terdakwa tidak mencantumkan harta dalam mata uang asing maupun rupiah yang diperoleh dari Djoko Budiharjo dalam LHKPN pada tahun 2008 dan 2018 dengan alasan pembuatan LHKPN terburu-buru untuk mengejar kenaikan pangkat," ungkap Eko.
"Majelis hakim melihat hal itu adalah alasan yang mengada-ada karena LHKPN adalah kewajiban untuk mengukur integritas penyelenggara negara," sambungnya.
Baca juga: Terima Suap dari Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki Divonis 10 Tahun Penjara
Pengeluaran Pinangki yang dapat mencapai Rp 70 juta per bulan dinilai tak sesuai dengan gaji Pinangki serta suaminya.
Majelis hakim pun memutuskan Pinangki terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dollar AS atau setara Rp 5,25 miliar.
Uang itu berasal dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra yang diberikan terkait kepengurusan fatwa di MA.