JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menyarankan penerapan sistem peradilan etika sebagai salah satu solusi dalam mengatasi kondisi kelebihan penghuni di lembaga pemasyarakatan (lapas).
"Hukum itu hanya menghukum, membalaskan kesalahan. Tapi sistem etika tidak hanya memberi sanksi untuk kepentingan membalas kelasahan," ujar Jimly saat memberikan materi dalam acara Konferensi Nasional II Kehidupan Berbangsa yang ditayangkan secara daring, Rabu (11/11/2020).
Baca juga: Jimly: Lapas Over Kapasitas, Tak Semua Pidana Harus Dihukum Penjara
Menurut Jimly, sistem peradilan etika bertujuan menjaga kepercayaan publik terhadap institusi jabatan. Sebab, secara sistem ada peringatan pertama hingga peringatan ketiga.
"Itu sifatnya mendidik, bukan menghukum," lanjut Jimly.
Jimly mengingatkan bahwa selama ini pengadilan hanya dibuat untuk penegakan hukum saja. Kondisi ini, kata dia, memicu over kapasitas penghuni lapas.
"Kalau semua diselesaikan dengan hukum, beban hukum sudah terlalu berat, penjara pun telah penuh. Sekitar 300 persen sekarang kalau di kota besar (lapas) over kapasitas," ungkap Jimly.
"Secara nasional penjara sekitar 208 persen over kapasitas," ujarnya.
Baca juga: Dirjen PAS Baru Diminta Tuntaskan Persoalan Kelebihan Kapasitas Lapas
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menyebut sistem peradilan etika sudah banyak diterapkan di berbagai negara.
Pada pertengahan 1990-an pun Majelis Umum PBB sudah merekomendasikan sistem peradilan etika untuk negara-negara anggota.
"Kemudian sekarang ini telah jadi gejala dunia. Jadi muncul kesadaran baru bahwa jangan semua masalah diselesaikan dengan pendekatan hukum," tambah Jimly.
Baca juga: Kelebihan Kapasitas Lapas dan Rutan di DKI, Didominasi Napi Kasus Narkoba
Jimly mengungkapkan, dari keseluruhan mantan tahanan yang telah selesai menjalani masa hukuman, hanya sekitar 30 persen saja yang tidak mengulangi kesalahannya lagi.
Sementara itu, sekitar 30 persen lainnya merasakan dendam.
"Apalagi kalau masuk penjara hanya karena perbedaan pendapat, karena salah, maka penegak hukum hanya cari orang salah bukan cari orang jahat," tuturnya.
Jika kondisinya seperti itu, mantan tahanan yang telah keluar dari lapas berpotensi besar masih menyimpan dendam.
Baca juga: Pemerintah Buat Grand Design Penanggulangan Kelebihan Kapasitas Lapas
Akan tetapi, Jimly mengingatkan ada sekitar 40 persen mantan tahanan yang semakin banyak melakukan kejahatan setelah keluar lapas.
"Yang paling gawat, 40 persen sisanya keluar penjara jadi semakin menjadi. Pencopet (bisa) jadi perampok, pemakai narkoba (bisa) berubah jadi bandar," kata Jimly.
Sehingga, menurutnya, pendekatan peradilan di Indonesia sudah saatnya diimbangi dengan pendekatan etika dan pendidikan publik.
"Mudah-mudahan ini jadi pegangan bagi kita generasi penerus untuk pegangan kehidupan kenegaraan agar jadi semakin baik ke depannya," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.