Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK Pastikan Putusannya Tetap Wajib Ditindaklanjuti Presiden dan DPR

Kompas.com - 13/10/2020, 18:23 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, memastikan bahwa dihapusnya Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang MK Nomor 7 Tahun 2020 tak berpengaruh pada sifat putusan MK yang final dan mengikat.

Meski ketentuan tersebut dihapus, kata Fajar, DPR dan Presiden tetap wajib menindaklanjuti putusan MK.

"UUD 1945 tegas menyatakan demikian, MK itu peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat mengikat," kata Fajar kepada Kompas.com, Selasa (13/10/2020).

Baca juga: Revisi UU MK Hapus Ketentuan Tindak Lanjut Putusan, Begini Kata Pakar Hukum

Adapun Pasal 59 Ayat (2) tercantum dalam UU MK sebelum revisi atau UU Nomor 8 Tahun 2011.

Pasal tersebut berbunyi: "Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan."

Ketentuan dalam Pasal 59 Ayat (2) itu dihapus dalam UU MK hasil revisi atau UU Nomor 7 Tahun 2020 yang disahkan DPR pada Selasa (1/9/2020) lalu.

Menurut Fajar, dihapusnya Pasal 59 Ayat (2) ini merupakan tindak lanjut pembentuk undang-undang atas Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011.

Putusan itu berisi tentang hasil pengujian MK terhadap UU Nomor 8 Tahun 2011. Pengujian itu dimohonkan pada tahun 2011 oleh sejumlah tokoh hukum seperti Saldi Isra, Arief Hidayat, Zainal Arifin Mochtar, hingga Feri Amsari.

Baca juga: MK: Pengujian UU Bukan Semata-mata untuk Menang

Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa Pasal 59 Ayat (2) dalam UU MK Nomor 8 Tahun 2011 adalah inkonstitusional.

Oleh karenanya, dalam revisi UU MK terakhir atau UU Nomor 7 Tahun 2020, pasal tersebut dihilangkan.

Fajar mengatakan, pertimbangan Majelis Hakim MK menyatakan Pasal 59 Ayat (2) inkonstitusional kala itu adalah karena dinilai mereduksi makna final dan mengikat putusan MK.

Keberadaan frasa "jika diperlukan" dalam pasal tersebut justru bisa menimbulkan ketidakpastian, lantaran akan memunculkan pemaknaan bahwa ada putusan MK yang perlu, ada pula yang tidak perlu.

"Padahal, semua putusan MK, terutama yang memuat legal policy baru, wajib untuk ditindaklanjuti oleh adressat (alamat) putusan, termasuk pembentuk UU," kata Fajar.

Baca juga: Bisakah UU Cipta Kerja Digugat Saat Belum Ada Nomor? Ini Kata MK

Oleh karenanya, Fajar menegaskan, tak ada persoalan yang timbul dari dihapusnya pasal tersebut. Putusan MK, kata dia, tetap bersifat final dan mengikat.

"Tidak perlu menciptakan narasi-narasi yang bersifat asumtif," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Nasional
Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Nasional
Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Nasional
PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

Nasional
Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Nasional
Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Nasional
 Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Nasional
PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

Nasional
Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Nasional
Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Nasional
Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Nasional
 Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Nasional
PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

Nasional
PAN Setia Dukung Prabowo Selama 15 Tahun, Zulhas: Ada Kesamaan Visi dan Cita-cita

PAN Setia Dukung Prabowo Selama 15 Tahun, Zulhas: Ada Kesamaan Visi dan Cita-cita

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com