JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung menyampaikan nota pembelaan atau eksepsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (21/5/2018).
Dalam eksepsi yang dibacakan oleh penasehat hukum, pihak Syafruddin mempersoalkan adanya laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tidak konsisten.
Laporan yang dimaksud yakni laporan audit pada 2002 dan 2006, serta audit investigasi BPK pada 2017.
Menurut pengacara Syafruddin, laporan BPK tahun 2002 berpendapat bahwa ikatan perdata Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) telah final dan closing. Sementara, dalam audit tahun 2006, BPK menilai BPPN dapat menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada BDNI.
Baca juga: Mantan Kepala BPPN Didakwa Rugikan Negara Rp 4,5 Triliun terkait SKL BLBI
Alasannya, karena pemegang saham BDNI yakni Sjamsul Nursalim telah memenuhi perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA) dan sesuai dengan kebijakan pemerintah.
"Audit BPK berpendapat bahwa SKL layak diberikan pada Sjamsul Nursalim, karena telah sesuai kebijakan pemeirntah dan Inpres Tahun 2002," ujar pengacara Syafruddin, Ahmad Yani, saat membacakan eksepsi.
Sementara, menurut Ahmad Yani, audit investigasi yang dilakukan BPK atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2017, disebutkan bahwa ada kerugian negara Rp 4,5 triliun. Audit tersebut kemudian jadi dasar jaksa KPK untuk mendakwa Syafruddin.
Menurut tim pengacara Syafruddin, audit BPK tahun 2017 tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut kliennya dengan tuduhan merugikan keuangan negara. Menurut pengacara, kerugian bukan disebabkan karena penerbitan SKL.
Namun, dalam audit BPK, kerugian negara terjadi akibat penjualan piutang BDNI kepada petani tambak.
Baca juga: Bantah Rugikan Negara dalam BLBI, Mantan Kepala BPPN Ajukan Eksepsi
Sebelumnya, Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun terkait penerbitan SKL BLBI.
Menurut jaksa, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.
Menurut jaksa, Syafruddin selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN. Kesalahan itu membuat seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi).