JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, memberikan keterangan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (26/1/2018).
Chairul dihadirkan oleh terdakwa Rochmadi Saptogiri, selaku Auditor Utama Keuangan Negara III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dalam persidangan, Chairul ditanya oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Menurut Chairul, LHKPN bisa menjadi salah satu indikator penegak hukum dalam menduga adanya penerimaan gratifikasi.
"Itu indikator awal, tidak membuktikan, hanya jadi indikasi saja," kata Chairul.
Baca juga: Auditor BPK Menangis Saat Ingat Momen Ditangkap KPK
Menurut Chairul, data dalam LHKPN bisa menunjukkan pertambahan harta kekayaan yang wajar atau tidak wajar.
Dengan demikian, dapat dicurigai apakah penambahan harta tersebut diperoleh dari sumber yang sah, atau dari perbuatan melawan hukum.
Menurut Chairul, penyelenggara negara yang hartanya bertambah tersebut harus bisa membuktikan sumber penambahan hartanya.
Sementara, penegak hukum baru bisa menyebut sebagai gratifikasi jika terbukti penerimaan itu berasal dari perbuatan melawan hukum.
Dalam kasus ini, Rochmadi Saptogiri didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 3,5 miliar.
Sejak 11 Maret 2014 hingga 2017, Rochmadi menjabat sebagai Auditor Utama Keuangan Negara III BPK yang memiliki beberapa kewenangan.
Baca juga: Ditanya Hakim soal Mobil Mewah, Istri Auditor BPK Menolak Jawab
Rochmadi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara pada bidang lembaga negara, kesejahteraan rakyat, kesekretariatan negara, aparatur negara, serta riset dan teknologi.
Menurut jaksa, dalam kurun waktu Desember 2014 hingga Januari 2015, Rochmadi secara bertahap menerima gratifikasi dari berbagai pihak.
Pertama, pada 19 Desember 2014 menerima Rp 10 Juta; pada 22 Desember 2014 menerima Rp 90 juta.
Kemudian, pada 19 Januari 2015 menerima Rp 380 juta; pada 20 Januari 2015 menerima Rp 1 miliar.
Selain itu, pada 21 Januari 2015 menerima sebesar Rp 1 miliar dan Rp 300 juta. Pada tanggal yang sama menerima lagi sebesar Rp 200 juta dan Rp 190 juta.
Kemudian, pada 22 Januari 2015 menerima Rp 330 juta.
Sejak menerima uang, Rochmadi tidak melaporkan kepada KPK sampai batas waktu 30 hari kerja, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam undang-undang.
Dengan demikian, menurut jaksa, uang Rp 3,5 miliar tersebut harus dianggap sebagai suap.