JAKARTA, KOMPAS.com - Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, salah satu penyebab penanganan perkara tidak maksimal karena anggaran Polri terbatas.
Ia menganggap, anggaran Polri, khususnya di bidang reserse dalam setahun tidak cukup karena penanganan masing-masing kasus berbeda.
Ada yang memiliki biaya kecil, ada juga yang butuh anggaran ekstra karena cukup sulit.
Tito lantas membandingkan penganggaran di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menggunakan sistem at cost atau biaya yang dikeluarkan sesuai dengan bukti pengeluaran yang sah.
"Kalau di KPK menggunakan sistem at cost, sementara Polri indeks. Tidak akan mungkin maksimal bekerja," ujar Tito di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Rabu (3/1/2018).
Dengan sistem anggaran indeks, Polri membagi penanganan perkara dalam empat kategori, yakni kasus sangat sulit, sulit, sedang, dan ringan.
Namun, anggaran yang dikeluarkan untuk kasus tertentu tidak bisa diprediksi, malah bisa melampaui yang diperkirakan.
Misalnya, kata Tito, kasus penghinaan yang tergolong kasus ringan, anggaran normalnya sekitar Rp 7 juta.
Namun, dalam beberapa kasus, penyidik harus mendatangi saksi dari luar kota sehingga butuh biaya ekstra.
"Jadi kalau ada istilah nanti kehilangan ayam, lapor. Polisi jadi kehilangan kambing, kadang kehilangan sapi," kata Tito.
Tito mengatakan, di Amerika, FBI diberi kartu kredit sehingga berapapun biayanya akan terpenuhi asal ada peetanggungjawabannya.
Berapa pun biaya yang diperlukan, akan dipenuhi negara.
Hal tersebut, kata Tito, sama dengan yang dialami KPK saat ini.
Penyidiknya bisa menelusuri suatu perkara hingga ke luar negeri tanpa perlu khawatir dengan anggaran.
"Kita, kasus penghinaan ada saksi di luar negeri, (yang semestinya) indeksnya ringan. Begitu berangkat ke sana Rp 150 juta. Dari mana (anggarannya)?" kata Tito.