Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hapus Diskriminasi Penghayat Kepercayaan

Kompas.com - 06/12/2017, 06:05 WIB
Kristian Erdianto,
Moh. Nadlir

Tim Redaksi

Dalam buku berjudul 'Menagih Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa', Sudarto menuturkan bahwa warga penghayat kepercayaan memiliki beban sejarah, di mana mereka tidak dianggap sebagai pemeluk agama yang "diakui" Negara.

Di sisi lain, melalui produk kebijakannya, Negara seakan membangun politik pembedaan. Dampaknya, warga penghayat kepercayaan menerima perlakuan sosial yang berbeda pula.

Pertama, stigmatisasi sebagai kelompok tidak beragama atau belum beragama. Hal itu merupakan beban psikologis tersendiri.

Bahkan, hal itu juga dialami oleh anak-anak para penghayat kepercayaan dalam bentuk perundungan.

Stigmatisasi ini disebabkan tidak diakomodasinya kepercayaan mereka di dalam kolom agama pada KTP.

Kedua, pelecehan dan sinisme dengan menyebut penghayat kepercayaan sebagai kelompok primitif atau belum beradab.

Pelecehan tersebut terutama dialamatkan terhadap penghayat Kepercayaan yang tinggal di desa-desa pedalaman.

Mereka sering menjadi obyek liputan media dan direspons sebagai komunitas masyarakat kelas rendah yang dianggap perlu untuk diberadabkan.

Ketiga, tuduhan sebagai aliran sesat, klenik dan perdukunan.

Keempat, seringkali terjadi hubungan yang kurang harmonis di beberapa daerah persebaran penghayat kepercayaan yang bertetangga dengan agama dakwah atau agama misionaris.

Kelima, hubungan sosial yang tersegregasi atau terasingkan akibat menguatnya politisasi agama.

"Praktik-praktik diskriminasi yang dialami oleh pemeluk agama lokal itu menjadi massif. Saya menemukan banyak praktik pemaksaan pernikahan. Para penghayat kepercayaan Sedulur Sikep di Pati, Blora, Kudus termasuk Rembang. Sebagian kelompok mereka dipaksa untuk menikah dengan cara Islam, sebagai agama yang dominan. Pemaksaannya jelas dari Disdukcapil karena menganggap agama kepercayaan itu tidak ada," kata Sudarto.

"Proses diskriminasi itu terjadi karena negara, dalam tanda kutip, hanya mengakui enam agama," ucapnya.

Secara terpisah, akademisi Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menegaskan, dengan adanya keputusan MK tersebut, maka negara harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar warga penghayat kepercayaan.

Pasalnya, implementasi putusan MK di tingkat daerah belum tentu sama dengan di tingkat pusat.

"Yang paling penting adalah tindak lanjut dari putusan MK itu. Seringkali pembuat regulasi membuat peraturan yang bertentangan dengan putusan MK," ujar Bivitri dalam sebuah diskusi.

Menurut Bivitri, pemerintah harus mengomunikasikan pemenuhan hak warga penghayat kepercayaan dalam konteks pelayanan publik di seluruh tingkat, dari pusat hingga ke daerah.

Institusi pemerintahan seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, institusi Polri dan pengadilan, kata Bivitri, wajib memahami putusan MK tersebut.

Ia mencontohkan, sebuah tindakan diskriminatif yang dialami oleh seorang warga penghayat Sunda Wiwitan saat berurusan di pengadilan.

Hakim yang memimpin sidang tidak mengambil sumpah lebih dulu saat warga penghayat itu hendak memberikan kesaksian dengan alasan kepercayaannya tidak termasuk dalam enam agama yang diakui oleh negara.

Padahal, pengambilan sumpah menjadi salah satu unsur agar sebuah kesaksian di pengadilan bisa dianggap sah.

"Putusan MK ini baik dan harus terus digaungkan soal hak-hak warga penghayat,"  kata Bivitri.

Halaman:


Terkini Lainnya

124.782 Jemaah Calon Haji RI Sudah Tiba di Tanah Suci, 24 Orang Wafat

124.782 Jemaah Calon Haji RI Sudah Tiba di Tanah Suci, 24 Orang Wafat

Nasional
Istana Mulai Bahas Peserta Upacara 17 Agustus di IKN

Istana Mulai Bahas Peserta Upacara 17 Agustus di IKN

Nasional
Kejagung Tetapkan 6 Eks GM PT Antam Jadi Tersangka Korupsi Emas 109 Ton

Kejagung Tetapkan 6 Eks GM PT Antam Jadi Tersangka Korupsi Emas 109 Ton

Nasional
Terima Aduan Keluarga Vina, Komnas HAM Upayakan 'Trauma Healing' dan Restitusi

Terima Aduan Keluarga Vina, Komnas HAM Upayakan "Trauma Healing" dan Restitusi

Nasional
SYL Beri Kado Kalung Emas Buat Penyanyi Dangdut Nayunda Nabila

SYL Beri Kado Kalung Emas Buat Penyanyi Dangdut Nayunda Nabila

Nasional
Febri Diansyah Jadi Saksi di Sidang SYL Senin Pekan Depan

Febri Diansyah Jadi Saksi di Sidang SYL Senin Pekan Depan

Nasional
SYL Pesan 'Wine' saat Makan Siang, Dibayar Pakai Uang Kementan

SYL Pesan "Wine" saat Makan Siang, Dibayar Pakai Uang Kementan

Nasional
Kementan Kerap Tanggung Biaya Makan Bersama SYL dan Eselon I

Kementan Kerap Tanggung Biaya Makan Bersama SYL dan Eselon I

Nasional
Draf Revisi UU Polri: Perpanjangan Usia Pensiun Jenderal Polisi Ditetapkan dengan Keputusan Presiden

Draf Revisi UU Polri: Perpanjangan Usia Pensiun Jenderal Polisi Ditetapkan dengan Keputusan Presiden

Nasional
Bayar Cicilan Apartemen Biduanita Nayunda, SYL: Saya Merasa Berutang Budi

Bayar Cicilan Apartemen Biduanita Nayunda, SYL: Saya Merasa Berutang Budi

Nasional
Kehadirannya Sempat Buat Ricuh di MK, Seorang Saksi Mengaku Tambah Ratusan Suara PAN di Kalsel

Kehadirannya Sempat Buat Ricuh di MK, Seorang Saksi Mengaku Tambah Ratusan Suara PAN di Kalsel

Nasional
Gerindra: Negara Rugi jika TNI-Polri Pensiun di Usia 58 Tahun

Gerindra: Negara Rugi jika TNI-Polri Pensiun di Usia 58 Tahun

Nasional
Kemenkominfo Galang Kolaborasi di Pekanbaru, Jawab Tantangan Keberagaman untuk Kemajuan Bangsa

Kemenkominfo Galang Kolaborasi di Pekanbaru, Jawab Tantangan Keberagaman untuk Kemajuan Bangsa

Nasional
Pegawai Setjen DPR Antusias Donor Darah, 250 Kantong Darah Berhasil Dikumpulkan

Pegawai Setjen DPR Antusias Donor Darah, 250 Kantong Darah Berhasil Dikumpulkan

Nasional
Kasus Timah, Kejagung Tahan Eks Dirjen Minerba Kementerian ESDM

Kasus Timah, Kejagung Tahan Eks Dirjen Minerba Kementerian ESDM

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com