Akhirnya perkawinan Dewi hanya dicatatkan dalam lembaga adat atau komunitas Karuhun Sunda Wiwitan.
"Memang kami tidak disediakan catatan pernikahan untuk kami. Negara tidak mau mencatat di Catatan Sipil. Negara tidak mau mencatat peristiwa kependudukan kami karena dianggap belum ada perundang-undangan dan dianggap bukan sebagai agama yang diakui. Itu persoalannya. Alasannya kan harus menikah sesuai tata cara agama," ujar Dewi saat dihubungi.
"Bukti pencatatan pernikahan hanya ada di internal komunitas. Kami membuat berita acara disaksikan oleh aparatur desa atau kelurahan setempat kemudian ada sesepuh adat," tambah dia.
Dengan tidak dicatatkannya perkawinan Dewi di Catatan Sipil, berdampak pada status hukum anaknya.
Dalam akta kelahiran, kata Dewi, anaknya dianggap tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ayahnya karena tidak dicatatkan.
Artinya, anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Dengan demikian, anaknya dianggap sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
"Akta kelahiran anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Memang Ada akta kelahiran, tapi dianggap sebagai anak di luar nikah kemudian status hukum dengan ayahnya dihilangkan. Artinya negara dengan sengaja memisahkan silsilah atau asal-usul antara anak dengan ayah secara sistemik dan itu berdampak pada genosida kultural," kata Dewi.
Selain orang dewasa, tindakan diskriminasi juga dialami oleh anak-anak penghayat kepercayaan.
Dewi menuturkan, anak-anak Sunda Wiwitan sering mengalami perundungan atau bullying dari teman-temanya di sekolah.
Pihak sekolah, kata Dewi, seringkali melakukan hal yang sama. Dewi mencontohkan, satu kasus di mana seorang anak Sunda Wiwitan dipaksa mengenakan pakaian khas salah satu agama. Hingga akhirnya anak itu disidang oleh pihak sekolah karena menolak.
"Kami sebagai pendamping warga juga sering mengadvokasi anak-anak penghayat kepercayaan di sekolah mereka. Ada yang dipaksa untuk memakai baju muslim ketika hari-hari tertentu atau saat bulan puasa. Kami akhirnya melakukan pendekatan kepada pihak sekolah. Sampai kami minta perlindungan kepada KPAI," kata Dewi.
"Kekerasan psikologis yang dilakukan oleh guru itu luar biasa dampaknya. Jadi anak itu disidang di depan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru kesiswaan, jadinya anak-anak itu seperti pesakitan," tuturnya.
Dalam permohonan uji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan di Mahkamah Konstitusi, Nggay Mehang Tana, seorang penganut kepercayaan Marapu di Sumba Timur menuturkan, dengan tidak diisinya kolom agama bagi penghayat kepercayaan, mereka dicap kolot, kafir dan sesat.
Hal itu berimbas pada pelanggaran terhadap hak konstitusional dalam pelayanan administrasi kependudukan.
Perkawinan antarpemeluk kepercayaan dari Komunitas Marapu yang dilakukan secara adat tidak diakui negara.
Akibatnya, anak-anak mereka sulit mendapatkan Akta Kelahiran. Demikian pula dengan persoalan KTP elektronik.
"Untuk mendapatkan KTP elektronik dengan mudah, sebagian penganutnya terpaksa berbohong menuliskan agama di luar kepercayaannya pada KTP elektronik," tulis Nggay.