DALAM salah satu lagunya yang berjudul "Seperti Matahari", musisi legendaris Iwan Fals menyenandungkan aforisme sarat makna: "Tujuan bukan utama, yang utama adalah prosesnya".
Tak sukar memahami pesan Iwan dalam bait itu. Ia hendak mengingatkan bahwa meraih tujuan semestinya dilakukan dengan cara baik dan benar karena kebenaran dan kebaikan itulah yang menentukan martabat kita sebagai manusia.
Menjelang perhelatan Pilkada 2018 serentak, kalimat bernada sufistik itu punya makna mendalam. Kita tahu Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan pelaksanaan pilkada serentak akan berlangsung pada 27 Juni 2018. Namun, tensi politik dalam rangka menyambut perhelatan akbar itu sudah mulai dirasakan dari sekarang.
Partai-partai politik--tentu saja termasuk PKB--mulai memanaskan mesin. Konsolidasi antara pengurus dan kader digelar baik di level pusat maupun daerah, silaturahim politik antarpartai diintensifkan demi merumuskan formulasi calon kepala daerah terbaik.
Tujuannya jelas: meraih kemenangan sebanyak-banyaknya di 171 daerah, yang terbagi dalam 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Akan tetapi, sebuah pertandingan tidak mungkin dimenangkan oleh semua pesertanya. Inilah yang kerap kali menjadi persoalan di dalam kehidupan berdemokrasi kita. Tak semua pihak siap menerima kekalahan yang sebetulnya sudah galib dalam sebuah kontestasi.
Masih segar dalam ingatan kita saat puluhan orang merusak kantor Kementerian Dalam Negeri dan menyerang para pegawai di sana beberapa waktu lalu.
Kemarahan massa--seperti disampaikan sahabat saya Mendagri Tjahjo Kumolo--berakar dari ketidakpuasan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak memenangkan jagoan mereka.
Contoh lain yang juga masih gampang kita ingat adalah respons warganet terhadap pidato politik sahabat saya Anies R Baswedan usai resmi dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Ia dirisak sedemikian rupa hanya lantaran satu kata yang tafsir dan pemaknaannya bisa sangat berbeda-beda: pribumi.
Anies yang di dalam tubuhnya mengalir darah Arab dituding rasis. Padahal, selain kata "pribumi", ada banyak pesan positif yang ia sampaikan terkait ajakan menyelesaikan persoalan Ibu Kota.
Di luar dua contoh itu, tentu masih banyak kejadian lain yang bisa kita temukan dan rasakan bersama. Pertanyaannya, mengapa hal semacam itu mesti terjadi?
Di sinilah, menurut saya, aforisme Iwan menemukan makna dan relevansinya. Keberingasan dan kebencian yang dipanen usai pilkada sesungguhnya merupakan benih yang ditabur selama masa kampanye.
Strategi kotor dengan menghalalkan berbagai cara demi meraih kemenangan ibarat bara dalam sekam yang siap disulut menjadi api dendam.
Kalau sudah begini, istilah "pesta demokrasi" yang mestinya identik dengan karnaval kegembiraan justru berubah menjadi ajang kengerian yang mengorbankan dan melukai rakyat.
Sedia payung sebelum hujan. Begitu kata pepatah yang berarti mencegah lebih baik ketimbang mengobati.
Menurut saya, luka pilkada bisa dihindari lewat empat aspek: pendidikan politik, profesionalisme partai, serta integritas dan netralitas penyelenggara pemilu.
Pertama, pendidikan politik kepada masyarakat menjadi tidak saja untuk meningkatkan partisipasi masyarakat datang ke bilik suara, tetapi juga untuk menyadarkan hak, kewajiban, dan tanggung jawab mereka dalam politik.
Kesadaran itulah yang nantinya melahirkan kedewasaan dalam menyaring informasi, menentang kekerasan, dan menolak politik uang. Pendidikan politik merupakan kerja panjang yang terus diupayakan.
Kedua, profesionalisme partai politik. Dalam konteks ini, partai politik berkewajiban menawarkan calon-calon pemimpin daerah terbaik kepada masyarakat.
Calon pemimpin haruslah lahir dari proses meritokrasi bukan arogansi, plutokrasi, dan oligarki segelitir elite partai. Sehingga, kontestasi perebutan kekuasaan berlangsung lewat perang gagasan dan pikiran, bukan uang dan kebencian.
Ketiga, integritas penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu. Kita tahu konflik atau kekerasan dalam pilkada tak jarang disulut oleh sikap penyelenggara pemilu di lapangan.
Alih-alih bersikap netral, mereka justru turut memperkeruh persoalan dengan bersikap tak berimbang. Untuk itu, penyelenggara dan pengawas pemilu haruslah bersikap independen, imparsial, integritas, transparan, efisien, dan profesional. Sehingga, rakyat benar-benar bisa merasakan keterlibatan mereka dalam praktik demokrasi tidak pernah dimanipulasi.
Keempat, netralitas aparat. Dalam konteks ini, aparat bisa dibagi dalam dua kategori, yakni aparatur sipil yang bergerak dalam bidang birokrasi dan aparatur keamanan yang bergerak dalam bidang penegakan hukum.
Aparat birokrasi maupun hukum tidak boleh mengintervensi penyelenggaraan pemilu lewat pengerahan massa maupun penyalahgunaan wewenang hukum. Netralitas keduanya menjadi kata kunci bagi penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan tidak memihak.
Pada akhirnya, pilkada merupakan representasi dari pesta demokrasi rakyat. Seperti layaknya sebuah pesta, ia haruslah melahirkan karnaval kegembiraan, bukan justu pemantik keberingasan dan kebencian.
Dan, seperti kata Iwan, ia baru akan terwujud apabila kita menempuh cara atau proses yang bermartabat dalam mencapai tujuan.