Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Supriyadi Widodo Eddyono
Direktur Eksekutif di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

Advokat hak asasi manusia, menjabat sebagai Direktur  Eksekutif di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

"Overcrowding" yang Menghantui Lapas di Indonesia

Kompas.com - 07/07/2017, 12:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Persoalan lembaga pemasyarakatan (lapas) seakan tak ada habisnya. Belum lama ini, muncul kembali persoalan empat narapidana asing yang diri dari Lapas Kerobokan Bali. Mereka melarikan diri dengan cara menggali terowongan ke luar lapas.

Kaburnya empat narapidana asing ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), hingga 20 Juni 2017 terdapat tidak kurang dari 26 kasus napi melarikan diri dari rutan dan lapas di Indonesia.

Sebelumnya, ditemukan masalah lapas mewah, yakni perlakuan khusus bagi narapidana dalam bentuk penyediaan fasilitas-fasilitas khusus bagi napi tertentu di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.

Peristiwa yang memalukan ini menambah deret panjang daftar kasus komodifikasi di lapas. Di samping itu, ancaman kerusuhan yang membayang-bayangi lapas masih menjadi sorotan.

Berdasarkan pemantauan, setidaknya terdapat delapan peristiwa kerusuhan lapas yang terjadi sepanjang 2016.

Tabel  1 Kondisi Kerusuhan Lapas di Indonesia Tahun 2016DOK. ICJR Tabel 1 Kondisi Kerusuhan Lapas di Indonesia Tahun 2016

Overcrowding yang menghantui lapas

Sebenarnya permasalahan di lapas-lapas maupun rutan-rutan Indonesia di tahun-tahun sebelumnya sudah mengalami situasi yang mengkhawatirkan. Masalah utamanya adalah implikasi dari kelebihan penghuni dan overcrowding yang dialami sebagian besar lapas Indonesia.

Kelebihan penghuni yang dimaksud di sini adalah situasi di mana ada kelebihan kapasitas di lapas atau ketika jumlah narapidana lebih banyak ketimbang jumlah ruang atau kapasitas penjara/lapas yang tersedia. Intinya jumlah narapidan tidak sebanding dengan jumlah ketersediaan ruangan lapas (jumlah narapidana lebih banyak dari jumlah penjara).

Adapun overcrowding yang dimaksud di sini adalah situasi krisis akibat kepadatan penghuni lapas. Sampai dengan saat ini, tidak ada solusi pemerintah yang komprehensif atas hal tersebut, selama ini pembenahan atas kondisi ini tambal sulam.

Kelebihan beban penghuni atau situasi overcrowding menghantui hampir seluruh di rumah tahanan (rutan) dan lapas di Indonesia.

Kelebihan penghuni di beberapa rutan dan lapas bahkan sudah sampai ke titik mengkawatirkan. Semakin meningkat populasi penghuni penjara tiap tahunnya, maka segaris dengan itu, angka kelebihan penghuni Rutan dan Lapas juga meningkat cukup signifikan.

Data per Juni 2017 tercatat bahwa jumlah narapidana di Indonesia sebanyak 153.312 orang. Adapun kapasitas yang dapat ditampung hanya 122.114 narapidana. Berarti secara keseluruhan lapas di Indonesia mengalami kelebihan penghuni mencapai 84 persen.

Angka yang lebih parah terjadi di Lapas Klas I Cipinang. Per Juni 2017, Lapas Cipinang diisi oleh 2.926 napi dan tahanan, padahal kapasitasnya hanya untuk 880 narapidana.

Tahun 2016 menjadi salah satu tahun terburuk dalam pemasyarakatan di Indonesia. Kelebihan penghuni mencapai angka yang sangat signifikan, yaitu 72 persen secara nasional.

Apabila dilihat lebih dekat, angka kelebihan penghuni menjadi sangat mengerikan di beberapa wilayah di Indonesia. Kelebihan penghuni di Kalimantan Timur mencapai 166 persen, DKI Jakarta menyentuh 170 persen, Kalimantan Selatan mencatat angka 183 persen. Angka itu sama dengan kelebihan penghuni di Sumatera Utara.

Kelebihan penghuni terburuk berada di Provinsi Riau yang mencapai 203 persen dari kapasitas penghuni.

Untuk melihat seberapa besar permasalahan kelebihan penghuni lapas, dapat dilihat melalui tabel di bawah ini:

Perbandingan Jumlah Kapasitas dan Hunian Lapas dan RutanDOK. ICJR Perbandingan Jumlah Kapasitas dan Hunian Lapas dan Rutan
Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa peningkatan angka tahanan dan narapidana terjadi setiap tahunnya. Meskipun jumlah unit pengelolaan tahanan (UPT) dan kapasitasnya juga bertambah, namun tentu saja tidak dapat membendung lonjakan penghuni rutan dan lapas.

Tercatat pada Desember 2013 terdapat 459 UPT dengan kapasitas penghuni mencapai 107.359 orang. Karena jumlah narapidana dan tahanan mencapai 159.961 orang, maka kelebihan penghuni mencapai 49 persen.

Angka tersebut kemudian meningkat sampai dengan Desember 2014, dengan peningkatan jumlah UPT mencapai 463 UPT, kelebihan penghuni tetap terjadi yaitu di angka 49 persen. Alasannya meskipun terdapat jumlah peningkatan UPT, tetapi jumlah penghuni juga meningkat, yaitu mencapai 163.404 orang di 2014.

Angka kelebihan penghuni sebesar 49 persen bertahan di Desember 2015. Meskipun terjadi penambahan UPT menjadi 477 dan kapasitas menjadi 119.020 penghuni, jumlah penghuni masih tak terbendung, yaitu sebanyak 176.754 orang.

Pada data terakhir melalui SDP Ditjen Pas, Desember 2016, kelebihan penghuni meningkat menembus angka 72 persen, tertinggi selama 5 tahun terakhir.

Hal tersebut akibat dari jumlah penghuni rutan dan lapas yang mencapai 204.649 orang berbanding kapasitas 477 UPT yang hanya mampu menampung 119.020 penghuni, tidak berubah dari tahun sebelumnya.

Implikasi overcrowding

Kelebihan penghuni tentu saja menjadi masalah yang sangat mendasar yang menjadi alasan utama dari berbagai persoalan di rutan dan lapas. Menurut saya, ada beberapa dampak langsung dari persoalan kelebihan penghuni. Kondisi ini tidak banyak berubah.

Pertama, tidak berjalan baiknya pembinaan yang ada di lapas karena jumlah penghuni yang terlalu banyak. Program tersebut meliputi pembinaan kerja dan keterampilan sampai dengan rehabilitasi medis dan sosial yang buruk.

Kedua, kurangnya jumlah personel akibat perbandingan dari penghuni dan personel yang berbanding jauh. Hal ini yang mengakibatkan banyaknya penghuni yang kabur atau melarikan diri.

Salah satu dampak langsung dari meledaknya kepadatan penghuni rutan dan lapas tersebut adalah risiko kemanan yang tidak lagi terjamin, termasuk memastikan penghuni rutan dan lapas tidak melarikan diri dalam isu keamanan.

Secara faktual, terdapat risiko keamanan serius akibat tingginya tingkat kepadatan penghuni rutan dan lapas. Akibatnya, pada saat malam hari, hanya blok atau sebagian dari blok yang dapat dikunci karena sel tidak dapat dikunci.

Hal ini memunculkan risiko keamanan yang besar baik di antara penghuni maupun antara penghuni dan petugas, serta kemungkinan melarikan diri yang tinggi.

Secara logis, kelebihan beban itu juga berdampak pada rasio antara petugas jaga dan penghuni rutan dan lapas. Di tingkat nasional, rasio antara petugas dan penghuni mencapai 1:44 pada 2014. Angka tersebut membengkak pada 2016 di mana rasionya menjadi 1:55 orang.

Sementara itu, di beberapa penjara tertentu kondisi ini makin buruk, pada 2016, Rutan Salemba harus memastikan kondisi Rutan aman dengan ratio penjagaan 1:161 orang.

Perlu dicatat, semakin buruk tingkat kepadatan, maka semakin buruk pula tingkat penjagaan dan keamanan. Pada 2014, seperti Lapas Banjarmasin rasionya bisa jauh lebih mengkhawatirkan lagi, yaitu di angka 1:450.

Situasi ini menyebabkan pengelolaan penjara bisa menjadi sangat sulit mengingat rendahnya rasio penjaga terhadap penghuni. Dalam kondisi tersebut, maka ketidakmampuan personel lapas dalam membendung jumlah penghuni lapas yang melarikan diri menjadi terasa cukup rasional.

Ketiga, tingginya angka kerusuhan lapas dan rutan yang terjadi akibat gesekan besar yang terjadi di antara penghuni, perebutan makanan, tempat tidur, kamar mandi, dan banyak hal lainnya.

Kelebihan penghuni pada lapas-lapas di Indonesia menimbulkan dampak langsung bagi praktik komodifikasi lapas. Di samping ada persoalan sifat koruptif dari oknum-oknum yang mencari keuntungan.

Overcrowding jelas mengakibatkan tidak terakomodasinya pelayanan dan fasilitas yang memadai bagi warga binaan. Kondisi yang layak hanya dapat terjadi manakala lapas menampung penghuni yang sesuai dengan kapasitas. Bagaimana mungkin kelayakan dapat diperoleh disaat kelebihan muatan mencapai 332 persen hampir 3 kali lipat dari kondisi normal?

Overcrowding ini juga mengakibatkan layanan standar minimum bagi lapas menurun ke tingkat yang semakin mengkhawatirkan. Layanan dasar berupa air minum, makanan, komunikasi, ruang tidur termasuk kesehatan akan menerima dampak langsung. Negara terbukti mengalami kesulitan membiayai pengeluaran lapas untuk memenuhi standar minimum ini.

Situasi ini mendorong warga binaan harus mencari alternatif dalam menyokong standar hidup minimum dalam lapas. Situasi ini jugalah yang akhirnya mendorong dukungan kehidupan dari pihak luar, yakni para keluarga-handai tolan warga binaan.

Masalahnya, dukungan keluarga ini pasti akan digantungkan pada kondisi ekonomi masing-masing, ada yang kaya dan banyak yang miskin.

Hal inilah yang menjadikan penyediaan fasilitas tertentu selalu menjadi komoditas subur bagi petugas Lapas yang koruptif. Narapidana yang tergolong memiliki kemampuan finansial lebih kuat akan menyuap petugas untuk mendapat fasilitas yang lebih memadai bahkan cenderung mewah.

Keempat, masalah yang sering luput adalah persoalan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk membiayai penghuni rutan dan lapas.

Perlu diketahui bahwa penghununi rutan dan lapas adalah tanggung jawab dari negara, sehingga segala jenis pembiayaan dari mulai pangan sampai dengan obat-obatan haruslah ditanggung oleh negara. Semakin besar angka penghuni maka beban yang ditanggung negara semakin besar pula.

Terakhir, kelebihan penghuni mengakibatkan banyaknya narapidana maupun tahanan yang harus dimutasi. Hal ini mengakibatkan keluarga maupun kerabat dari narapidana maupun tahanan yang ingin berkunjung harus mengeluarkan biaya yang lebih besar.

Praktik ini kemudian menjadikan keluarga dari penghuni sebagai obyek lain yang mendapatkan penghukuman dari akibat besarnya jumlah penghuni lapas dan rutan.

Penyebab overcrowding

Persoalan kelebihan penghuni rutan dan lapas sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari pendekatan kebijakan pemidanaan penjara yang selalu digunakan pemerintah.

Tingginya angka pemidanaan penjara menjadi alasan penting. Sistem peradilan pidana Indonesia cenderung sangat kaku, sehingga kasus sekecil apa pun biasanya akan dilanjutkan prosesnya sampai dengan ditahan bahkan dipenjara. Belum lagi minimnya alternatif penahanan dan alternatif pemenjaraan yang tidak tersedia dengan baik.

Bahkan kebijakan penggunaan pidana penjara sebagai tujuan utama pemidanaan juga tergambar dari produk hukum yang dirancang maupun dikeluarkan pemerintah yang selalu bernuansa pemenjaraan.

Dapat diambil beberapa contoh, UU ITE yang banyak dikritik karena memuat pidana tinggi, ternyata hanya menurunkan ancaman pidana dari 6 tahun ke 4 tahun untuk kejahatan penghinaan dan pencemaran nama baik yang mestinya dapat menggunakan jenis pidana lain.

Rancangan KUHP yang saat ini dibahas di DPR juga menunjukkan bagaimana pemerintah belum lepas dari hasrat pemenjaraan. Dari 1.251 perbuatan pidana dalam RKUHP, perbuatan yang diancam pidana penjara sangat signifikan, yaitu 1.154 perbuatan pidana.

Apabila dikaitkan langsung dengan kewenangan aparat penegak hukum untuk menahan, maka jumlah perbuatan pidana yang dapat langsung dikenakan penahanan (ancaman pidana di atas 5 tahun) berjumlah 822 tindak pidana, angka yang cukup besar.

Dengan pendekatan pidana pemenjaraan ini, meskipun DPR telah sepakat menambah anggaran sebesar Rp 1,3 triliun untuk pemasyarakatan, maka penambahan jumlah UPT akan selalu terlambat mengiringi penambahan jumlah penghuni yang selalu meningkat. Ini terbukti dari jumlah kelebihan penghuni yang selalu meningkat meskipun jumlah UPT bertambah.

Dengan situasi ini, maka pemerintah perlu didorong melakukan evaluasi yang lebih serius atas kebijakan pemidanaan, khususnya mengantisipasi kelebihan penghuni dalam lapas.

Pemerintah harus mulai mengoptimalkan alternatif pidana di luar pemenjaraan dan mulai mengefektifkan aturan yang mengakomodir alternatif penahanan di luar tempat-tempat penahanan.

Persoalan dalam lapas tidak akan pernah selesai kalau pemerintah memang mendesain lapas sebagai tempat akhir untuk menampung beban peradilan pidana tanpa secara serius mengevaluasi kebijakan pemidanaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com