MUSEUM dituntut bereaksi terhadap isu kemanusiaan. Tak hanya bertugas merawat benda dan arsip, kemudian dipamerkan.
Namun, bisakah programnya membincangkan yang tersirat dalam sejarah dan menemukan konteksnya saat ini?
Pada Jumat pagi, 20 Januari 2017, sementara Donald Trump sedang disumpah sebagai pemimpin baru di Amerika Serikat, Kanselir Jerman tak menghiraukannya. Setidaknya, Angela Merkel menunda memperhatikan pidato Trump dalam inaugurasinya sebagai Presiden AS.
Merkel, perempuan nomor satu di Jerman itu memilih melipir, beranjangsana meresmikan sebuah Musem seni baru, Barberini Museum, sembari menikmati karya-karya lukisan maestro Eropa, seperti: Monet, Liebermann, Munch, Nolde, dan Kandinsky di Potsdam, Jerman.
Merkel seakan mengolok Trump, bahwa mengapresiasi karya seni lebih penting daripada menyimak pidato Trump.
Tentunya, ini sebagai “protes” Merkel atas berbagai kontroversi terpilihnya Trump dan kegaduhan selama kampanye Presiden AS pada 2016, yang dipenuhi pidato retorik yang memicu kekerasan verbal dan fisik, menciptakan tensi politik yang memanas di Eropa, termasuk isu pengungsi Timur-Tengah, diskriminasi ras sampe pelecehan terhadap kaum perempuan.
Ia tidak menggunakan seni sebagai bahan sindiran, namun “merayu” seorang Jenderal Jepang, Hitoshi Imamura. Soekarno meminta pelukis Basoeki Abdullah, yang waktu itu bergabung di Keimin Bunka Sidhoso atau Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) sebuah lembaga kebudayaan bentukan Jepang, bersedia untuk melukis potret diri sang Jenderal.
Soekarno tentu berhitung dengan cermat, mengingat Imamura adalah mantan komandan tentara ke-16 Kekaisaran Jepang yang “ganas dan brutal”, yang memimpin invasi ke wilayah Hindia Belanda di Jawa.
Bahkan, pada 1941 di selat Sunda terjadi perang sengit Jepang melawan armada sekutu, yang dalam tujuannya ke Jawa kapal perang yang dikomandani Imamura tenggelam. Imamura tidak menyerah, ia berjuang dengan berenang ke pantai serta selamat.
Seni lukis potret Basoeki Abdullah, bagi Soekarno, dengan caranya sendiri telah menjadikannya simbol ungkapan kelembutan dan persaudaraan antar bangsa Asia melawan Belanda.
Seni, dari dua fenomena itu adalah wujud kekuatan simbolik nan dahsyat untuk menyentuh sisi paling intim seseorang, sekaligus mengekselerasi energi empati pada manusia diluar dirinya.
Seni dikembalikan perannya sebagai “pencerah” dalam situasi krisis kemanusiaan: perang dan kebencian-kebencian tak bernalar yang beratas nama apapun. Karya seni, sepertinya sebuah tempat untuk mengadu bagi dua pemimpin besar itu, baik Soekarno atau Angela Merkel.