Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Museum dan Galeri Seni, Parasmu Kini

Kompas.com - 20/03/2017, 12:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

MUSEUM dituntut bereaksi terhadap isu kemanusiaan. Tak hanya bertugas merawat benda dan arsip, kemudian dipamerkan.

Namun, bisakah programnya membincangkan yang tersirat dalam sejarah dan menemukan konteksnya saat ini?

Pada Jumat pagi, 20 Januari 2017, sementara Donald Trump sedang disumpah sebagai pemimpin baru di Amerika Serikat, Kanselir Jerman tak menghiraukannya. Setidaknya, Angela Merkel menunda memperhatikan pidato Trump dalam inaugurasinya sebagai Presiden AS.

Merkel, perempuan nomor satu di Jerman itu memilih melipir, beranjangsana meresmikan sebuah Musem seni baru, Barberini Museum, sembari menikmati karya-karya lukisan maestro Eropa, seperti: Monet, Liebermann, Munch, Nolde, dan Kandinsky di Potsdam, Jerman.

Merkel seakan mengolok Trump, bahwa mengapresiasi karya seni lebih penting daripada menyimak pidato Trump.

Tentunya, ini sebagai “protes” Merkel atas berbagai kontroversi terpilihnya Trump dan kegaduhan selama kampanye Presiden AS pada 2016, yang dipenuhi pidato retorik yang memicu kekerasan verbal dan fisik, menciptakan tensi politik yang memanas di Eropa, termasuk isu pengungsi Timur-Tengah, diskriminasi ras sampe pelecehan terhadap kaum perempuan. 

Reuters Kanselir Jerman Angela Merkel mengajak Trump untuk berjabat tangan, tetapi Trump tak meresponsnya, tampak dingin tanpa menyahut atau menoleh ke arah timpalannya itu.
Jauh sebelumnya, tatkala entitas bernama bangsa dan negara Indonesia belum ada, pada 1943 segera setelah setahun armada pasukan Dai Nippon tiba di Jawa, Soekarno melakukan hal serupa.

Ia tidak menggunakan seni sebagai bahan sindiran, namun “merayu” seorang Jenderal Jepang, Hitoshi Imamura. Soekarno meminta pelukis Basoeki Abdullah, yang waktu itu bergabung di Keimin Bunka Sidhoso atau Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) sebuah lembaga kebudayaan bentukan Jepang, bersedia untuk melukis potret diri sang Jenderal.

Soekarno tentu berhitung dengan cermat, mengingat Imamura adalah mantan komandan tentara ke-16 Kekaisaran Jepang yang “ganas dan brutal”, yang memimpin invasi ke wilayah Hindia Belanda di Jawa.

Bahkan, pada 1941 di selat Sunda terjadi perang sengit Jepang melawan armada sekutu, yang dalam tujuannya ke Jawa kapal perang yang dikomandani Imamura tenggelam. Imamura tidak menyerah, ia berjuang dengan berenang ke pantai serta selamat.

Seni lukis potret Basoeki Abdullah, bagi Soekarno, dengan caranya sendiri telah menjadikannya simbol ungkapan kelembutan dan persaudaraan antar bangsa Asia melawan Belanda.

Seni, dari dua fenomena itu adalah wujud kekuatan simbolik nan dahsyat untuk menyentuh sisi paling intim seseorang, sekaligus mengekselerasi energi empati pada manusia diluar dirinya.

Seni dikembalikan perannya sebagai “pencerah” dalam situasi krisis kemanusiaan: perang dan kebencian-kebencian tak bernalar yang beratas nama apapun. Karya seni, sepertinya sebuah tempat untuk mengadu bagi dua pemimpin besar itu, baik Soekarno atau Angela Merkel.

Biofilus dan Nekrofilus serta pernyataan tersirat

Dalam konteks ini, pemikiran psikoanalis Eric Fromm senyatanya menjadi titik terang yang mengilhami, bahwa seni, dalam tatarannya yang konstruktif, bisa dijadikan sebagai energi manusia yang erat dengan konsep biofilus, yakni cinta kehidupan.

Fromm dalam Anatomy of Human Destructiveness (1973), menyingkap bahwa kondisi kejiwaan manusia juga memiliki lelaku antagonisnya yakni nekrofilus, cinta kematian.

Kompas.com/Silvita Agmasari Museum Bahari Jakarta.
Kondisi masyarakat akhir-akhir ini, lebih cenderung membawa beban nekrofilus. Sebuah kondisi kejiwaan masyarakat yang membiakkan hasrat kekerasan, kecenderungan yang sangat terhadap sesuatu yang membusuk dan mati.

Kita bisa menandainya dalam hujatan-hujatan kebencian dalam batas yang amat mengkhawatirkan, misalnya dalam dunia politik nasional kita, menjelang Pilkada Jakarta putaran ke-2, dengan masing-masing mempertahankan “kebenaran” kelompoknya dengan membabi-buta.

Menurut Fromm, orang-orang nekrofilus, dalam suatu kelompok, menyukai untuk mengganggu dan membuat orang lain kecewa, mementahkan kesepakatan, mematahkan semangat orang lain yang berseberangan yakni orang-orang biofilus yang bersemangat dan bergairah untuk membangun rekonsiliasi.

Kemudian, dimanakah posisi museum dan galeri seni besar? Tradisi lama sebuah museum adalah aktifitas mengoleksi dan merawat benda-benda bersejarah, mendokumentasi sesuatu yang berkaitan dengannya dan kemudian memamerkannya menjadi tidak lagi lengkap.

Pandangan lama, yang menyebut museum sebagai cabinet of curiosities atau kunstkabinett bukan lagi klaim yang paling benar. Sebuah “lemari” atau “ruang” penyimpanan telah bertransformasi hebat.

Museum tak hanya sebagai ensiklopedia koleksi obyek-obyek mati dan kemudian dimaknai secara eksklusif. Lebih dari itu, museum seharusnya menjawab tantangan zaman, menengok keluar dari “tembok” museum.

The International Council of Museums (ICOM), yang didirikan pada 1946, sebuah otoritas dewan dan profesional di bidang museum sedunia memberi tema Hari Museum Sedunia pada Mei 2017 nanti dengan apa yang disebut Museums and Contested Histories: Saying the Unspeakable in Museums.

Melihat sejarah kembali dengan cara berbeda, berani menyuarakan yang terbungkam. Sebuah refleksi kritis atas catatan sejarah sosial, politik dan budaya bangsa dengan mengkonstruksinya kembali peristiwa-peristiwa itu lewat program-program museum.

ICOM yang memiliki 35.000 anggota di 137 negara, termasuk sejumlah 20.000 museum ini memantik persoalan sejauh ini, bagaimana peran museum bisa dengan aktif memberi manfaat pada masyarakat?

Menjadikan medium untuk menguji kembali makna peristiwa-peristiwa lewat benda-benda yang dimiliki di museum atau yang dipamerkan dan program lainnya untuk mempromosikan saling pengertian di masyarakat. Menyatakan dengan lantang yang tersirat seraya membangun adab, menanggalkan saling mencurigai antarsesama.

Sebagai misal, program edukasi yang menginspirasi pada khalayak lebih muda untuk menginterpretasikan bagaimana sosok pelukis Basoeki Abdullah yang multi-kultural lewat serangkaian workshop khusus atau sebuah ekshibisi yang unik di Museum.

KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Pengunjung melihat lukisan koleksi Istana Negara dalam pameran bertajuk Goresan Juang Kemerdekaan : Koleksi Seni Rupa Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (2/8/2016). Pameran menampilkan 28 karya dari 20 maestro lukis Indonesia seperti Raden Saleh, Affandi, Basoeki Abdullah hingga Presiden Soekarno, berlangsung untuk umum dari 2-30 Agustus.
Bagaimana ia sempat didera oleh cemooh dimasa lalu sebagai pengusung moie indie, seniman penghamba keelokan ala Eropa melihat negeri Timur oleh sebagian kritikus seni, yang sebenarnya bisa dimaknai kembali dengan generasi kini dengan cara pandang yang lebih jernih.

Tatkala semangat kebinekaan kultural berbangsa kita sedang terancam, Basoeki Abdullah, seperti juga Soekarno, patut sebagai simbol representasi bahwa keindonesiaan masih tetap mengalir deras dalam darahnya. Nasionalismenya tetap tak diragukan, meskipun mereka sempat memilih untuk menikahi warga negara asing, tumbuh dari keyakinan dan iman yang berbeda dari ibu atau bapaknya.

Pada contoh lainnya, bagaimana seniman-seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang telah distigma secara politis sebagai “musuh negara” pada masa lalu, seperti karya-karya para anggota Sanggar Bumi Tarung mulai dipamerkan lagi, didiskusikan ulang sumbangannya pada sejarah seni dalam ingatan-ingatan kolektif bangsa yang majemuk ini.

Program di Galeri Nasional, yang diinisiasi oleh tiga kementerian pada Agustus 2016, yakni Kemdikbud, Setneg, dan Bekraf patut juga diapresiasi. Meskipun kita tahu belum ada tindak lanjutnya atas cacatnya karya-karya yang dipamerkan, rencana restorasi karya-karya milik Istana Kepresidenan yang sangat penting, serta acara sejenis bagian ke II pada 2017.

KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Lukisan karya Diego Rivera berjudul Gadis Melayu dengan Bunga, dalam pameran bertajuk Goresan Juang Kemerdekaan : Koleksi Seni Rupa Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (2/8/2016).
Di bulan Maret ini, Pameran Nusantara dengan tajuk "Rest Area: Perupa Membaca Indonesia" patut pula diapresiasi. Event ini telah tergelar sampai tahun ke-9, yang telah menjaga marwah “kedaulatan seni kita”, dengan menjaga titik keseimbangan ekspresi yang demikian majemuknya serta ide-ide tentang keindonesiaan yang tetap terus disuarakan oleh seniman-seniman se-Indonesia.

Namun, ada ceruk batin yang masih mengganjal hari ini. Meski sisa harapan masih terasa.

Lamat-lamat, pemerintah akan bersiap menyelenggarakan Festival Istiqlal Ke-3 pada 2018. Jika memang Indonesia sebagai bangsa dengan populasi terbesar masyarakat Muslim di dunia, mengapa program sehebat Festival Istiqlal yang dulu tersohor dan kini akan dicanangkan kembali tak disosialisasikan dan dipersiapkan dengan baik?

Misalnya, memulai pameran-pameran seni rupa dan seni pertunjukan di Galeri Nasional Indonesia atau Museum Nasional, meskipun pusatnya ada di Masjid Istiqlal.

Setidaknya, event penting seperti itu selayaknya menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat peradaban Islam dunia pada abad ke-21.

Kita masih ingat, pada Festifal Istiqlal Ke-1 (1991) dan Festival Istiqlal ke-2 (1995) rezim Orde Baru, rezim yang dianggap otoriter, nyatanya mampu menyelenggarakan sebuah hajatan budaya bergengsi bernafaskan Islam terbesar se-Asia Tenggara dengan gelombang pengunjung ribuan manusia dari dalam dan luar negeri.

Namun kini kita mendengar lamat-lamat saja Fetival Istiqlal Ke-3 yang akan dihidupkan, memulai soft-launch-nya pada Februari 2017 lalu, jauh kalah gemuruh dibandingkan berita-berita kehadiran Raja Salman dari Arab Saudi. 

 

 

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk 'Distabilo' seperti Era Awal Jokowi

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk "Distabilo" seperti Era Awal Jokowi

Nasional
Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Nasional
Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

Nasional
Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Nasional
KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

Nasional
Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Nasional
DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

Nasional
Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com