Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agus Suntoro
Peneliti BRIN

Penulis adalah Koordinator Kelompok Riset Hukum Lingkungan, Sumber Daya Alam dan Perubahan Iklim, pada Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Membumikan HAM dalam Kerangka Bisnis, Refleksi atas Polemik Freeport

Kompas.com - 10/03/2017, 11:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Polemik persoalan pertambangan yang melibatkan Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia di tanah Papua bukanlah hal baru. Sejak penandatanganan kontrak karya (KK) pada 1967, tidak pernah lepas dari pro dan kontra yang melingkupi bisnis pertambangan ini.

Situasi yang menghangat saat ini merupakan konsekuensi logis implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Undang-undang yang ditandandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 12 Januari 2009 masih berlaku pada pemerintaahan saat ini.

Ketentuan tersebut memaksa perusahaan pemegang KK mematuhi 3 (tiga) ketentuan pokok sebagai berikut.

Pertama, upaya pengakhiran KK yang telah ada sebelum berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009 sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian (Pasal 169). Komitmen ini telah dilakukan dengan pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) pada 10 Februari 2017.

Kedua, kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Pemegang KK mendapat kompensasi selama selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diberlakukan (Pasal 103 jo Pasal 170). Proses dan penetapan kemungkinan lokasi pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur, atau Provinsi Papua inilah yang masih menjadi sumber ketegangan.

Ketiga, kewajiban divestasi. Setelah lima tahun berproduksi, maka perusahaan yang dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.

Mekanisme divestasi diatur secara teknis melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 yang menekankan kewajiban perusahaan asing di bidang pertambangan untuk divestasi sampai 51 persen secara bertahap serta memperbolehkan perpanjangan izin lima tahun sebelum izin usaha berakhir.

Problem HAM

Polemik di atas mengungkap realitas sejatinya hanyalah pertentangan kepentingan antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia.

Dalam berbagai diskursus, hampir semua menihilkan persoalan HAM yang selama ini terjadi, khususnya bagi pemilik wilayah adat Amungsa sebagai lokasi konsesi pertambangan. Secara khusus, problem HAM yang terjadi dapat diklasifikasikan dalam empat kategori sebagai berikut.

Pertama, klaim atas kepemilikan wilayah adat. Dasar masuknya perusahaan melakukan pertambangan adalah KK dengan pemerintah Indonesia pada 7 April 1967. Masyarakat adat, khususnya Suku Amungme, menilai kehadiran perusahaan tanpa melibatkan mereka.

Klaim tersebut sangat dipahami sebab pelibatan baru pada 1974 ketika konsep Januari Agrement dilakukan yang menekankan aspek pemberdayaan masyarakat dan "membolehkan" perusahaan meneruskan kegiatan penambangan.

Hal itu bukan berarti menjadi dasar penguasaan wilayah adat masyarakat secara sepihak.

Demikian halnya, pemberian dana perwalian kepada beberapa yayasan yang menaungi masyarakat adat, belumlah cukup mempersentasikan komitmen pengakuan terhadap hak ulayat mereka.

Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PTFI Sebanyak 1.200 pekerja PT Freeport yang menggelar aksi mogok kerja di Area Penambangan Terbuka Grasberg, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, sejak 28 September 2016.
Situasi inilah yang sekarang menjadi salah satu dasar penuntutan masyarakat adat Suku Amungme untuk memperoleh saham secara cuma-cuma dalam proses divestasi.

Hal itu tentu harus dimaknai sebagai bagian dari implementasi konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat (2) jo Pasal 28I ayat (3) yang menegaskan bahwa sumber daya alam dipergunakan sebesesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan adanya pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat.

Kedua, praktik kekerasan dan bisnis keamanan. Kehadiran perusahaan secara umum selalu mendapatkan perlindungan dari aparat keamanan (sebelum pemisahan Polri dan TNI pada 2000) dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Bahkan, pada 2011 media massa mengulas mengenai alokasi dana pengamanan sebesar 14 juta dollar AS kepada aparat keamanan di Papua.

Berbagai catatan kekerasan terhadap masyarakat yang menuntut hak-haknya, peristiwa penembakan terhadap pekerja PT Freeport Indonesia, dan alokasi dana perusahaan untuk kepentingan pengamanan bukan hal yang sulit dicari di media massa. Bahkan, Komnas HAM RI pada 2011 secara serius telah melakukan pantauan atas persoalan ini.

Demikian halnya, beberapa lembaga yang concern dalam pemajuan HAM, di antaranya Elsam menyorot praktik dimaksud dan mengulasnya dalam Laporan Perjuangan Amungme antara Freeport dan Militer.

Ketiga, persoalan lingkungan hidup. Berbagai kasus dugaan pencemaran lingkungan hidup tidak bisa dilepaskan dari pertambangan yang dilakukan perusahaan.

Tentu hal yang paling menonjol adalah dugaan pencemaran akibat limbah (tailing) yang berkait erat dengan masalah ekologis.

Meskipun sudah ada upaya-upaya pengelolaan limbah oleh perusahaan, tidak sepenuhnya diyakini terjadi pemulihan yang efektif.

Problem limbah ini juga berkelindan dengan situasi sosial, kehadiran masyarakat dari berbagai wilayah untuk mendulang dan berupaya memperoleh sisa emas menjadi salah indikasinya. Tentu, selain dampak lingkungan dan sosial yang terjadi, baik langsung atau tidak, situasi ini memunculkan peluang pelibatan jasa pengamanan.

Keempat, aspek ketenagakerjaan. Faktor utama dalam aspek ketenagakerjaan adalah keselamatan kerja. Situasi ini belum sepenuhnya dijamin oleh perusahaan.

Peristiwa paling dramatis adalah runtuhnya terowongan di Big Gossan (2013) yang menewaskan 28 orang dan 10 luka-luka.

Problem lain yang dihadapi oleh sekitar 32.000 pekerja PT Freeport Indonesia adalah ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).

Situasi ini selalu muncul ketika pembahasan persoalan pelarangan ekspor bahan mentah, rencana renegoisasi kontrak, dan divestasi. Tentunya, dalam aspek perlindungan masa depan pekerja, mereka menjadi pihak paling rentan akibat aksi korporasi.

Ruggie Principles

Pada Juni 2008, Jhon Ruggie selaku perwakilan khusus PBB untuk bisnis dan HAM mempresentasikan Kerangka Kerja Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan HAM oleh Perusahaan ke Dewan HAM.

Akhirnya, pada Juni 2011, PBB menerbitkan Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia atau dikenal Ruggie Principles. Prinsip ini menjelaskan tentang sejumlah prinsip pengintegrasian HAM ke dalam dunia bisnis.

Kerangka kerja dalam Ruggie Principles mencerminkan tiga pilar berikut ini.

Pertama, tanggung jawab negara untuk melindungi HAM dari pelanggaran oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan, melalui kebijakan, pengaturan, dan keputusan yang layak. Negara tetap memegang peran utama dalam mencegah pelanggaran HAM.

Kedua, tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM, di mana mensyaratkan adanya aksi yang sungguh-sungguh untuk menghindari pelanggaran HAM oleh pihak lain dan menyelesaikan dampak negatif dari bekerjanya perusahaan tersebut.

Perusahaan harus memiliki pernyataan komitmen untuk menghormati HAM, melakukan penilaian atas dampak HAM, serta mengintegrasikan prinsip-prinsip penghormatan HAM dalam proses, fungsi, dan kebijakan internal

Ketiga, akses luas bagi warga korban pelanggaran HAM untuk memperoleh skema pemulihan efektif, baik secara yudisial maupun nonyudisial.

Mekanisme pengaduan yang efektif dalam perusahaan wajib disediakan sebagai mekanisme untuk menghormati HAM. Negara harus melakukan langkah dalam yuridiksi mereka untuk memastikan korban memiliki akses untuk pemulihan efektif melalui cara yudisial, administratif, legislatif, atau cara lainnya.

Berdasarkan ketiga pilar tersebut, maka penanggung jawab utama dalam perlindungan, pemenuhan, dan penegakan HAM adalah negara melalui pemerintah. Maka sudah seharusnya kehadiran perusahaan haruslah tunduk dan taat pada instrumen hukum dan HAM, baik internasional dan nasional.

Untuk itulah, dalam menyikapi polemik yang saat ini terjadi, kita harus mendorong negara melalui pemerintah untuk memastikan bahwa seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan di atasnya harus memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, khususnya pemilik hak ulayat sebagai implementasi UUD 1945.

Pemerintah juga perlu melakukan penilaian (audit) terhadap seluruh aspek, baik tata kelola (bisnis) dan aspek HAM untuk memastikan tidak ada pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan perusahaan.

Pemerintah hendaknya memastikan pemulihan terhadap dampak-dampak yang telah ditimbulkan akibat praktik bisnis yang selama ini dilakukan, baik sipil dan politik dan ekonomi, sosial, dan budaya.

Demikian halnya terhadap para pelaku pelanggaran hukum dan HAM, perlu diselesaikan melalui mekanisme yang berlaku untuk memberikan rasa keadilan bagi para korban.

Dengan demikian, diharapkan bahwa kehadiran perusahaan dapat mendemonstrasikan komitmen dalam upaya penghormatan HAM.

Selain itu, negara juga mampu mewujudnyatakan tanggung jawabnya dalam pemenuhan, penegakan, dan perlindungan HAM dalam dunia bisnis yang akan memberikan dampak positif bagi warga negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Nasional
Hasto: Di Tengah Panah 'Money Politic' dan 'Abuse of Power', PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Hasto: Di Tengah Panah "Money Politic" dan "Abuse of Power", PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Nasional
Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Nasional
Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Nasional
Hakim: Hinaan Rocky Gerung Bukan ke Pribadi Jokowi, tetapi kepada Kebijakan

Hakim: Hinaan Rocky Gerung Bukan ke Pribadi Jokowi, tetapi kepada Kebijakan

Nasional
Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Nasional
Jokowi Bakal Diberi Posisi Terhormat, PDI-P: Untuk Urusan Begitu, Golkar Paling Sigap

Jokowi Bakal Diberi Posisi Terhormat, PDI-P: Untuk Urusan Begitu, Golkar Paling Sigap

Nasional
PPP Jadi Partai yang Gugat Sengketa Pileg 2024 Terbanyak

PPP Jadi Partai yang Gugat Sengketa Pileg 2024 Terbanyak

Nasional
Wapres Doakan Timnas Indonesia Melaju ke Final Piala Asia U23

Wapres Doakan Timnas Indonesia Melaju ke Final Piala Asia U23

Nasional
Ada 297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Pengacara dari 8 Firma Hukum

Ada 297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Pengacara dari 8 Firma Hukum

Nasional
Novel Baswedan dkk Laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK, Dianggap Rintangi Pemeriksaan Etik

Novel Baswedan dkk Laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK, Dianggap Rintangi Pemeriksaan Etik

Nasional
Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Nasional
Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Nasional
Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Nasional
Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com