JAKARTA, KOMPAS.com — Masyarakat Indonesia saat ini umumnya senang berbagi informasi. Dibarengi dengan perkembangan teknologi digital yang penetrasinya hingga berbagai kalangan, peredaran informasi menjadi kian sulit terbendung.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyebutkan, sedikitnya 170 juta masyarakat Indonesia memiliki minimal satu ponsel atau setidaknya satu SIM card.
Dengan demikian, mereka bisa berbagi informasi dengan cepat. Media sosial dan aplikasi pengirim pesat cepat (chat apps) menjadi media favorit.
Namun, rupanya hal ini menimbulkan suatu polemik baru. Informasi benar dan salah menjadi campur aduk.
"Bangsa Indonesia pada umumnya senang menjadi nomor satu. Jadi, kalau melemparkan isu ingin dianggap yang pertama. Buktinya, kirim lewat WA, Facebook, Twitter, dan sebagainya," ujar Rudiantara dalam sebuah acara diskusi, Senin (13/2/2017).
Edukasi
Isu soal hoax, kata Rudiantara, tak hanya menjadi permasalahan di Tanah Air, tetapi menjadi isu global. Penyelesaian terhadap maraknya hoax juga tak melulu harus diselesaikan pemerintah, tetapi bisa mengadopsi cara penyelesaian di luar pemerintah.
Komunikasi pun dilakukan pemerintah, lewat Kominfo, dengan berbagai pihak dari luar, seperti Facebook dan Google. Kerja sama dilakukan untuk menyaring konten dan beragam informasi.
Terkait regulasi, peredaran informasi agar tidak "liar" dapat dilakukan sesuai koridor Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) bagi media massa.
Sanksi bagi penyebar informasi hoax bisa dikenakan hukuman sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Namun, kata Rudiantara, kini pemerintah fokus pada "hulu". Bukan hanya pembatasan atau pemblokiran, melainkan lebih kepada literasi masyarakat.
"Kami meng-encourage (mendorong), mempromosikan semua lapisan masyarakat, memiliki etika bagaimana memanfaatkan media sosial," ujar dia.
Masyarakat diharapkan lebih bijak dalam memanfaatkan media sosial. Misalnya, memastikan terlebih dahulu akurasi konten yang akan dibagikan, mengklarifikasi kebenarannya, memastikan manfaatnya, baru kemudian menyebarkannya.
Interaksi di media sosial, kata dia, adalah hal yang tak bisa dicegah dan dibendung. Pembatasan dalam penggunaan media sosial sama saja dengan membatasi masuknya hal-hal positif.
Sebab, media sosial di sisi lain juga membawa banyak dampak positif.