JAKARTA, KOMPAS.com - Rohaniwan Franz Magnis Suseno menyatakan penggunaan kata penistaan dalam tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama perlu didalami kembali, khususnya dalam menyikapi ajaran agama yang berbeda dari mayoritas.
"Di Undang-undang (UU) Penodaan Agama, mengajarkan sesuatu yang lain dari suatu agama, kurang lebih itu dirumuskan sebagai penghinaan agama. Menurut saya sangat salah," kata Magnis saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR dalam penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (6/2/2017).
"Seseorang semestinya di hadapan Tuhan boleh memercayai apa yang ia yakini. Kalau beda ya beda. Jadi bukan wewenang negara untuk menentukan suatu agama menyimpang atau tidak," lanjut Magnis.
Ia menambahkan, mengajari suatu hal yang berbeda dari pemahan mayoritas pemeluk suatu agama, bukanlah suatu penodaan. Sebab, dalam suatu agama terdapat banyak perbedaan tafsir.
Oleh karena itu, ia meminta agar negara tak melabeli kata menyimpang pada suatu kelompok yang ajarannya berbeda dari pemeluk agama mayoritas.
"Rasanya salah kalau Negara mengatakan kelompok ini atau yang itu menyimpang. Harusnya istilahnya cukup berbeda dan negara tak berhak menghakimi," papar Franz.
"Bukan negara atau Kementerian Agama yang menentukan suatu ajaran benar, hanya Tuhan yang mampu menentukan itu benar atau tidak. Karenanya mengajari hal berbeda tak boleh dimasukan ke penodaan agama," lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.