JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai, hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual bukan pilihan yang tepat.
Selain dinilai melanggar hak asasi manusia, pengaturan sanksi melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dinilai tak sesuai dengan prinsip demokrasi.
"Perppu yang akan mengatur tentang sanksi kebiri kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual bermasalah secara materil maupun formil, karena berpotensi melanggar prinsip hak asasi manusia dan demokrasi," ujar Fajri Nursyamsi melalui keterangan tertulis, Minggu (15/5/2016).
Secara substansi, hukuman kebiri akan berdampak pada hilangnya hak seseorang untuk melanjutkan keturunan dan terpenuhi kebutuhan dasarnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, sampai saat ini tidak ada kajian yang menunjukkan bahwa sanksi kebiri mampu secara efektif menekan tindakan kekerasan seksual.
(baca: Ketum PBNU: Hukum Mati Pemerkosa, Bukan Hanya Kebiri)
Kekerasan seksual adalah hal kompleks yang tidak bisa serta merta hilang dengan mengebiri pelaku.
Sementara itu, secara formil, pemilihan perppu tidak didasari pertimbangan yang kuat akan pemenuhan syarat kegentingan yang memaksa.
Bentuk perppu untuk sanksi kebiri dipilih hanya karena ingin peraturan segera berlaku, yang justru mengabaikan prinsip demokrasi dalam pembentukannya.
(baca: Grace Natalie: Hukum Seumur Hidup Pemerkosa, Bukan Mati atau Kebiri)
"Perppu itu minim pertanggungjawaban, karena hanya disusun sepihak oleh Pemerintah, sementara pengaturan yang akan mengikat seluruh warga negara dengan membatasi HAM seharusnya dibahas bersama DPR," kata Fajri.
Untuk itu, pemerintah diminta mengutamakan pembahasan bersama DPR. Keinginan untuk segera memberlakukan perppu kebiri perlu diperiksa lebih lanjut, karena selama ini pelaku kekerasan seksual tetap dapat dipidana dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dengan demikian, aspek kekosongan hukum sebagai salah satu alasan pembentukan perppu dinilai belum terpenuhi.
Perppu yang berisi aturan soal pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak akan segera dikirim ke DPR untuk dibahas.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan, Perppu itu mengatur hukuman pokok maksimal 20 tahun penjara bagi pelaku.