KOMPAS - Krisis karakter belum menunjukkan gejala perbaikan. Janji negara hadir di setiap persoalan, realisasinya masih belum memenuhi harapan publik. Hampir satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, implementasi revolusi mental belum terlihat. Jangan sampai revolusi mental tinggal slogan semata.
Belum hilang dari ingatan saat rumah ibadah dengan mudahnya dirusak massa di Tolikara, Papua. Belum pula hilang dari ingatan bagaimana TNI dan Polri bentrok di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Praktik korupsi juga belum menunjukkan tanda-tanda akan sembuh sekalipun operasi tangkap tangan sering dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Gotong royong yang menjadi nilai fundamental bangsa, yang seharusnya dimaknai sikap saling tolong-menolong dalam kebaikan dan pembangunan, malah memudar. Gotong royong kini menonjol dari sisi negatif, tolong-menolong dalam kejahatan dan perusakan.
Dari sisi kualitas, pelayanan negara kepada rakyat juga belum optimal. Reformasi birokrasi belum mampu menciptakan aparatur sipil negara yang bekerja keras, bekerja tangkas, dan gigih untuk meraih mutu terbaik melayani rakyat. Nilai-nilai luhur seperti kejujuran, amanah, dan bersih masih kerap diabaikan.
Padahal, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadikan revolusi mental sebagai sikap kerja melayani rakyat menjalankan Nawacita. Sayang, sejauh ini implementasi revolusi mental dalam tataran praksis belum terlalu kelihatan. Bahkan, gaungnya tak lagi sekencang masa kampanye Pemilihan Presiden 2014.
Kekhawatiran tergerusnya semangat revolusi mental ini juga mengemuka dalam diskusi bertajuk "Strategi dan Implementasi Revolusi Mental Aparatur Sipil Negara" yang digelar Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi di Jakarta, Senin (31/8).
Para aparatur sipil negara dari sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah khawatir, revolusi mental sebatas slogan. Padahal, mereka menilai revolusi mental sangat penting dijalankan di tengah kemunduran karakter bangsa.
Berkarakter kuat
Revolusi mental diyakini bisa membawa bangsa Indonesia menjadi karakter yang kuat, jujur, dan beretos kerja tinggi sehingga mampu menyusul keberhasilan Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Tidak ada kata terlambat untuk itu.
Jepang dan Korea Selatan merupakan contoh dua negara yang bangkit menjadi raksasa ekonomi dunia setelah luluh lantak akibat perang. Investasi sumber daya manusia merupakan kunci keunggulan kedua negara. Tentu saja, mereka memulainya dengan membangun karakter yang tahan banting, mengutamakan kejujuran, terdidik, dan toleran.
Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia Sarlito Wirawan Sarwono menjelaskan, Rumah Transisi, tim yang dibentuk pasca kemenangan Jokowi-JK dalam pemilu, sebenarnya telah merumuskan delapan prinsip untuk merealisasikan revolusi mental, Kompas (1/9).