JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengapresiasi Mahkamah Konstitusi yang menolak uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) tentang Perkawinan terkait perkawinan beda agama.
"Kita bersyukur, itu putusan yang patut kita syukuri karena itu mencerminkan keindonesiaan kita. Masyarakat kita adalah masyarakat yang religius," kata Lukman di Jakarta, Senin (22/6/2015), seperti dikutip Antara.
Lukman mengatakan, pernikahan adalah hal yang sakral. Jadi, pernikahan tidak hanya peristiwa hukum semata. Di Indonesia, kata dia, masyarakatnya religius sehingga pernikahan merupakan peristiwa sakral, bahkan pernikahan adalah ibadah.
Tidak diakuinya nikah beda agama, kata dia, merupakan salah satu ketentuan agama. (Baca: Ini Alasan MK Tolak Permohonan Nikah Beda Agama)
"Nikah itu resmi dicatat negara jika dilakukan menurut agama yang bersangkutan, itu yang dikukuhkan MK kemarin," ucapnya.
Sebelumnya, permohonan uji materi UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan terkait perkawinan beda agama telah ditolak oleh MK. (Baca: Seorang Hakim MK Beda Pendapat dalam Uji Materi soal Nikah Beda Agama)
Menurut MK, prinsip ketuhanan yang diamanatkan dalam UUD 1945 merupakan perwujudan dari pengakuan keagamaan. Sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negara mempunyai hubungan yang erat dengan agama dan salah satunya adalah perkawinan. (Baca: Seorang Hakim MK Beda Pendapat dalam Uji Materi soal Nikah Beda Agama)
Dalam dalil berikutnya, pemohon mengatakan bahwa hak konstitusionalnya untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga terlanggar dengan adanya ketentuan pasal tersebut. Pemohon merasa ada pembatasan terhadap hak warga negara dalam melangsungkan perkawinan. (Baca: PGI: Larangan Nikah Beda Agama Abaikan Hak Asasi Manusia)
Mahkamah berpendapat, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Hal itu untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Selanjutnya, para pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional mereka dirugikan karena pasal dalam UU Perkawinan tersebut memaksa setiap warga negara untuk mematuhi hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dalam bidang perkawinan. (Baca: KWI Dukung Legalisasi Nikah Beda Agama)
Menurut MK, perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Untuk itu, segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara, termasuk yang menyangkut urusan perkawinan, harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan.
Kemudian yang terakhir, para pemohon menilai hak untuk menjalankan agama dan hak atas kebebasan beragama terlanggar dengan berlakunya Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974. (Baca: FPI Anggap Pemohon Legalisasi Nikah Beda Agama "Ngawur")
Pemohon beranggapan, pasal itu memberikan legitimasi kepada negara untuk mencampuradukkan perihal administrasi dan pelaksanaan ajaran agama serta mendikte penafsiran agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan.
Menurut Mahkamah, negara berperan untuk memberikan perlindungan warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia. (Baca: Pemerintah Nilai Legalisasi Nikah Beda Agama Akan Timbulkan Gejolak Sosial)
Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sementara undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.