JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Refly Harun menilai, survei elektabilitas peserta pemilu justru membuat politik uang semakin marak. Hasil survei yang dipublikasikan dianggap menjadi pemicu terjadinya kecurangan di tingkat bawah.
"Hasil survei membuat money politik semakin marak. Pada Pileg lalu, untuk mengejar atau melampaui hasil survei, partai dan calon anggota legislatif menyebar uang pada hari-H (pemungutan suara)," ujar Refly dalam diskusi "Pengaruh Hasil Survei terhadap Perilaku Pemilih dalam Pemilu 2014" di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2014).
Ia memaparkan, pada Pileg lalu, hampir semua partai politik melakukan survei internal untuk mengetahui elektabilitasnya di semua daerah pemilihan (dapil). Ia mencontohkan, Partai A, berdasarkan survei internalnya, di suatu dapil mendapat satu kursi. Namun, di sisi lain pengurus partai meminta caleg bekerja keras agar di dapil tersebut partai itu mendapat dua kursi.
"Tapi calon-calon itu kan realistis. Mereka pikir kalau kampanye, buang-buang uang rasanya tidak mungkin satu kursi berubah jadi dua kursi. Maka sebaiknya menunggu di tikungan saja. Mereka tidak lagi kampanye, yang mereka lakukan adalah menyebar uang pada hari-H pemungutan suara kepada pemilih," kata Refly.
Ia mengatakan, politik uang masih mampu memengaruhi pemilih detik terakhir pemungutan suara. Menurut dia, hal yang sama juga dapat terjadi pada Pilpres. Bedanya, kata dia, politik uang terjadi antara peserta pemilu dan penyelenggara, dalam hal ini jajaran KPU di tingkat bawah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.