JAKARTA, KOMPAS.com -Beberapa pasal dalam draft revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diajukan pemerintah justru bersemangat mundur, tidak relevan dengan semangat zaman, bahkan cenderung membatasi kebebasan berekspresi. Itu antara lain tercermin dalam aturan soal penghinaan pada presiden, santet, dan hidup bersama.
Advokat senior Todung Mulya Lubis, mengungkapkan kritik itu di Jakarta, Senin (8/4).
"Telaah ulang pasal-pasal itu dalam draft revisi KUHP. Jangan sampai nanti justru menimbulkan masalah baru, terutama membatasi kebebasan ekspresi warga negara," katanya.
Sebagaimana diberitakan, pemerintah telah menyerahkan rancangan undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kepada DPR per 11 Desember 2012. Rancangan itu memicu kontroversi, terutama soal pengaturan penghinaan kepada presiden (Pasal 265 dan 266), penyadapan (Pasal 300-303), soal komunisme (Pasal 212 dan 213), hingga soal santet (Pasal 293) dan hidup bersama (Pasal 485).
Menurut Todung Mulya Lubis, kita memang membutuhkan KUHP baru yang lebih relevan dengan semangat zaman, lebih modern, dan sesuai kebutuhan masyarakat. Namun, sejumlah pasal dalam draft revisi KUHP itu justru bersemangat lebih mundur dari semangat zaman sekarang. Sebut saja pasal soal penghinaan pada presiden, santet, dan hidup bersama.
Pasal penghinaan pada presiden semestinya tidak dimasukkan dalam revisi KUHP. Mahkamah Konstitusi (MK) sudah pernah membatalkan pasal itu beberapa waktu lalu karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal santet sulit dibuktikan secara rasional, sementara hukum diproses dengan bukti-butki nyata, obyektif, dan rasional. Sementara soal hidup bersama semestinya merupakan domain pribadi yang tidak perlu diatur oleh negara. Revisi KUHP semestinya didasari semangat lebih maju untuk melindungi kebebasan warga. Konsep draft sekarang justru mengajak mundur.
Untuk itu, DPR diharap membuat produk undang-undang hukum pidana yang lebih rasional dan lebih responsif pada kebutuhan zaman. Jika diperlukan, masukkan aturan soal pencucian uang, kejahatan lewat kecanggihan teknologi informasi atau cyber crime. "Soal-soal baru itu jauh lebih perlu diatur ketimbang soal santet," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.