JAKARTA, KOMPAS.com — Tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Neneng Sri Wahyuni, merasa didiskriminasi. Neneng mengaku tidak diizinkan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk pindah ke Rumah Tahanan Pondok Bambu dari Rumah Tahanan KPK seperti halnya Angelina Sondakh.
“Saya minta pindah ke Rutan Pondok Bambu, tapi tidak dikasih. Di sini diskriminatif semua. Mbak Angie saja bisa pindah, tapi saya tidak dikasih,” kata Neneng saat akan memasuki rutan KPK di basement gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (10/10/2012), seusai menandatangani berkas pemeriksaan perkaranya yang dinyatakan lengkap atau P21.
Ini adalah pertama kalinya Neneng bersuara di hadapan pewarta. Selama ini, istri mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin itu memilih bungkam di hadapan media. Menurut Neneng, dengan dipindahkan ke Rutan Pondok Bambu, dia menganggap dapat lebih mudah bertemu buah hatinya.
Neneng ditahan di Rutan Jakarta Timur Cabang KPK sejak 14 Juni lalu atau sehari setelah ditangkap di kediamannya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Semula Neneng satu rutan dengan Angelina Sondakh dan Miranda S Goeltom. Namun, pada 14 Agustus lalu, Angelina dipindahkan ke Rutan Pondok Bambu. Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan bahwa pemindahan Angelina ke Rutan Pondok Bambu ini merupakan kewengan tim penuntut KPK.
Dalam kasus dugaan korupsi PLTS, Neneng selaku Direktur Keuangan PT Anugerah Nusantara diduga melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ia dianggap melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Hukuman maksimalnya 20 tahun penjara.
Kasus yang menjerat Neneng ini merupakan pengembangan kasus korupsi PLTS yang melibatkan pejabat Kemenakertrans, Timas Ginting. Adapun Timas divonis dua tahun penjara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 27 Februari lalu. Dia dianggap terbukti menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat pembuat komitmen sehingga menguntungkan orang lain serta koorporasi dari pengadaan proyek PLTS yang nilainya Rp 8,9 miliar itu. Salah satu pihak yang diuntungkan adalah PT Alfindo Nuratama yang mendapat Rp 2,7 miliar.
Menurut jaksa, PT Alfindo hanyalah perusahaan yang dipinjam benderanya oleh PT Anugerah Nusantara (Grup Permai), milik Nazaruddin dan Neneng. PT Alfindo dipinjam benderanya oleh Marisi Martondang (Direktur Administrasi Grup Permai) untuk digunakan Mindo Rosalina Manulang (pemasaran Grup Permai) atas sepengetahuan Nazaruddin dan Neneng. Setelah mendapatkan pembayaran tahap pertama, PT Alfindo menyubkontrakkan pengerjaan proyek PLTS ke PT Sundaya Indonesia dengan nilai kontrak Rp 5,29 miliar, sementara pembayaran yang diterima PT Alfindo dari Kemenakertrans mencapai lebih dari Rp 8 miliar. Selisih nilai proyek dengan nilai subkontrak ke PT Sundaya senilai Rp 2,7 miliar kemudian dianggap sebagai kerugian negara dalam kasus ini.
Neneng diduga berperan dalam proses subkontrak proyek ke PT Sundaya Indonesia. Terkait penyidikan kasus PLTS ini, KPK sudah memeriksa anggota DPR, Saan Mustopa, Muhammad Nazaruddin, dan Emir Moeis.
Berita selengkapnya dapat dibaca di topik pilihan "Neneng dan Dugaan Korupsi PLTS"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.