JAKARTA, KOMPAS.com — Perpindahan politikus dari satu partai politik ke partai politik lainnya merupakan cerminan kegagalan partai membangun loyalitas kader dan keroposnya ideologi partai.
Pengajar Komunikasi-Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar, Firdaus Muhammad, berpandangan bahwa fenomena pindah partai semacam itu menempatkan partai hanya menjadi alat politik untuk kepentingan pragmatis meraih kekuasaan, sementara komitmen politikus bersangkutan untuk membesarkan partainya diragukan.
Menurut Firdaus, praktik semacam itu dimungkinkan karena undang-undang politik memberi ruang bagi kader untuk mudah berpindah partai. Selain itu, parpol telah mengalami deideologisasi, di mana ideologi parpol cenderung mirip satu dengan yang lain. "Parpol kini tak punya pemisah ideologi secara jelas dan tegas karena dikaburkan kepentingan politik mereka," ujar Firdaus, Kamis (26/7/2012).
Seperti diberitakan, belakangan mencuat kembali kabar menyangkut perpindahan politikus ke parpol lain. Kabar itu antara lain dipicu oleh pernyataan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Rio Patrice Capella bahwa terdapat sejumlah anggota DPR yang telah menjalin komunikasi intensif untuk bergabung dengan partainya.
Peneliti The Indonesian Institute, Hanta Yuda AR, berpandangan bahwa perpindahan seperti itu semestinya menjadi kritik penting bagi partai bersangkutan untuk mengoreksi diri. Bagi partai yang ditinggal pergi oleh kadernya, hal itu memperlihatkan rapuhnya proses ideologisasi dan kaderisasi. Parpol yang menampung kader yang menyeberang itu pun mesti berhati-hati dengan cara instan seperti itu karena menghadapi politikus pindahan dengan loyalitas rendah.
Menurut Hanta, fenomena migrasi politikus seperti itu memperlihatkan kerapuhan sistem kaderisasi dan ideologisasi sehingga partai kerap melakukan cara pintas dengan pendekatan kaderisasi instan. "Pola seperti ini sangat cair, kader akan datang dan pergi sesuka hati," kata Hanta.
Kondisi itu juga merupakan imbas adanya keterputusan antara sistem perekrutan politik dan sistem kaderisasi partai yang seharusnya terlembaga. Padahal, institusionalisasi partai seharusnya merupakan agenda dan peranti penting demokratisasi.
Selain itu, Hanta menilai migrasi itu juga didorong oleh konsekuensi penerapan regulasi dalam sistem pemilu dan kepartaian, misalnya tentang parliamentary threshold, yang membuat para politikus pindah karena khawatir partainya tak bakal lolos ke parlemen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.