Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Putusan MK Dinilai Hambat Pemberantasan Korupsi

Kompas.com - 26/01/2017, 10:54 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai, Putusan MK nomor perkara 25/PUU-XIV/2016 terkait Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menghambat pemberantasan korupsi.

MK sebelumnya memutuskan bahwa kata "dapat" yang tertuang dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor dihapuskan.

Dengan demikian, tindak pidana korupsi menurut pasal tersebut harus memenuhi adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang nyata.

Adapun bunyi Pasal 2 ayat (1) UU tipikor, “(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Kemudian, Pasal 3 UU TIPIKOR: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

PSHK menilai, putusan MK tersebut tidak tepat dan mengaburkan pengertian korupsi itu sendiri.

"Apabila ditelisik lebih jauh, tidak ada persoalan norma pada kedua pasal itu. Inti delik (bestandelen) dari kedua pasal itu adalah 'memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum' dan bukan pada 'dapat merugikan keuangan negara'," kata Peneliti PSHK, Miko Ginting melalui keterangan tertulisnya, Kamis (26/1/2017).

Ia mengatakan, kedua pasal itu hanya menempatkan unsur "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" sebagai elemen delik.

Apalagi, MK sebelumnya melalui Putusan perkara Nomor 003/PUU-IV/2006 sudah menyatakan bahwa pemaknaan merugikan keuangan atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi.

Oleh karena itu, kata Miko, apabila suatu tindakan memenuhi unsur memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum sudah terpenuhi, maka tindak pidana korupsi sudah terjadi.

Sebaliknya, sudah ada kerugian negara tetapi unsur memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum tidak terpenuhi, maka tindak pidana korupsi belum terjadi.

Menurut Miko, interpretasi dan pelaksanaan penegakan hukum selama ini turut mengaburkan pengertian kedua pasal itu.

Seakan-akan harus ada kerugian negara untuk terpenuhinya delik menurut Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi.

"Penegak hukum cenderung menunggu dan bergantung pada hasil audit pemeriksa keuangan. Hal ini dilakukan hanya untuk tujuan memudahkan pembuktian. Tidak ada persoalan norma dari kedua pasal itu," kata dia.

Namun, penghilangan kata "dapat" pada kedua pasal itu oleh MK membawa pengertian yang sama sekali jauh berbeda.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Komisi X DPR RI Bakal Panggil Nadiem Makarim Imbas Kenaikan UKT

Komisi X DPR RI Bakal Panggil Nadiem Makarim Imbas Kenaikan UKT

Nasional
Jawab Kebutuhan dan Tantangan Bisnis, Pertamina Luncurkan Competency Development Program

Jawab Kebutuhan dan Tantangan Bisnis, Pertamina Luncurkan Competency Development Program

Nasional
Kemenag: Jemaah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Denda 10.000 Real hingga Dideportasi

Kemenag: Jemaah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Denda 10.000 Real hingga Dideportasi

Nasional
Hari Ke-6 Pemberangkatan Haji, 41.189 Jemaah Asal Indonesia Tiba di Madinah

Hari Ke-6 Pemberangkatan Haji, 41.189 Jemaah Asal Indonesia Tiba di Madinah

Nasional
UKT Naik Bukan Sekadar karena Status PTNBH, Pengamat: Tanggung Jawab Pemerintah Memang Minim

UKT Naik Bukan Sekadar karena Status PTNBH, Pengamat: Tanggung Jawab Pemerintah Memang Minim

Nasional
Di APEC, Mendag Zulhas Ajak Jepang Perkuat Industri Mobil Listrik di Indonesia

Di APEC, Mendag Zulhas Ajak Jepang Perkuat Industri Mobil Listrik di Indonesia

Nasional
Biaya UKT Naik, Pengamat Singgung Bantuan Pendidikan Tinggi Lebih Kecil dari Bansos

Biaya UKT Naik, Pengamat Singgung Bantuan Pendidikan Tinggi Lebih Kecil dari Bansos

Nasional
Penuhi Kebutuhan Daging Sapi Nasional, Mendag Zulhas Dorong Kerja Sama dengan Selandia Baru

Penuhi Kebutuhan Daging Sapi Nasional, Mendag Zulhas Dorong Kerja Sama dengan Selandia Baru

Nasional
UKT Naik, Pengamat: Jangan Sampai Mahasiswa Demo di Mana-mana, Pemerintah Diam Saja

UKT Naik, Pengamat: Jangan Sampai Mahasiswa Demo di Mana-mana, Pemerintah Diam Saja

Nasional
Profil Mayjen Dian Andriani, Jenderal Bintang 2 Perempuan Pertama TNI AD

Profil Mayjen Dian Andriani, Jenderal Bintang 2 Perempuan Pertama TNI AD

Nasional
Status Gunung Ibu di Halmahera Meningkat, Warga Dilarang Beraktivitas hingga Radius 7 Kilometer

Status Gunung Ibu di Halmahera Meningkat, Warga Dilarang Beraktivitas hingga Radius 7 Kilometer

Nasional
Anies Mau Istirahat Usai Pilpres, Refly Harun: Masak Pemimpin Perubahan Rehat

Anies Mau Istirahat Usai Pilpres, Refly Harun: Masak Pemimpin Perubahan Rehat

Nasional
Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Nasional
Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com