Oleh: Syamsuddin Haris
JAKARTA, KOMPAS - Para petinggi Partai Amanat Nasional tengah harap-harap cemas, menunggu momen apakah akhirnya PAN masuk Kabinet Kerja, setelah menyatakan dukungannya kepada Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Benarkah PAN akan masuk kabinet? Ke mana arah perombakan kabinet jilid 2?
Rona wajah beberapa petinggi PAN, termasuk Ketua Umum Zulkifli Hasan, belakangan sering tampak sumringah di depan kamera. Para petinggi PAN yakin bahwa dukungan politik mereka terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang dideklarasikan di Istana beberapa waktu lalu tidak dianggap gratis sehingga akan ada kompensasi dalam bentuk jatah menteri.
Presiden Jokowi sudah memberi sinyal ihwal rencana reshuffle kabinet jilid 2, tetapi belum menyinggung apakah akan ada "wajah baru" di kabinet. Jika pun PAN diajak serta, belum jelas bagi kita apakah Presiden Jokowi melakukan itu dengan cara mengurangi "jatah" kursi dari koalisi parpol pendukung lain atau dengan mengurangi menteri dari kalangan profesional nonpartai.
Pertanyaan lain adalah haruskah PAN atau partai lain memperoleh kompensasi kursi kabinet hanya memberi dukungan politik kepada pemerintahan Jokowi-JK?
Kabinet berbasis kinerja
Sejauh yang terekam dalam memori publik, tak ada kesepakatan politik tertulis apa pun antara Jokowi-JK dengan koalisi partai pendukungnya, dalam hal ini koalisi Kerja Sama Partai Politik Pendukung Pemerintah (KP4, sebelumnya dikenal sebagai Koalisi Indonesia Hebat). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang menjadi basis politik Jokowi, serta Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sebagai partai-partai yang tergabung dalam KP4 tidak pernah menandatangani kontrak politik tertulis dengan Jokowi-JK. Hal yang sama terjadi dengan PAN. Tidak ada memorandum of understanding atau semacamnya antara Jokowi dan Zulkifli Hasan selaku Ketua Umum PAN.
Dengan demikian, sebenarnya tidak ada kewajiban bagi Presiden Jokowi untuk membagi-bagi kursi menteri sebagai kompensasi atas dukungan politik partai-partai. Kursi kabinet diberikan lebih sebagai penghargaan Jokowi terhadap partai-partai yang mendukungnya secara tulus, dalam arti mau bekerja bergotong royong membangun negeri kita menjadi lebih baik, lebih adil, dan lebih sejahtera. Karena itu, partai apa mendapatkan (posisi menteri) apa, dan berapa banyak, tidak tergantung pada besar-kecilnya perolehan suara dalam pemilu legislatif.
Saya menduga, Presiden Jokowi menganut cara pandang di atas. Bagi Jokowi, jumlah kursi kabinet yang diperoleh parpol pendukung tidak ditentukan oleh proporsi besar-kecilnya parpol hasil pemilu legislatif, tetapi lebih ditentukan kualitas kontribusi setiap partai dalam mewujudkan visi misi Presiden khususnya dan memajukan kehidupan bangsa.
Itu artinya, arah perombakan kabinet jilid 2 bukanlah dalam rangka memberikan kompensasi atas dukungan politik partai pendukung, baik lama maupun baru, melainkan lebih dalam rangka mempertajam fokus kerja para menteri itu sendiri. Presiden Jokowi menginginkan agar kabinetnya berbasis kinerja. Seperti dinyatakan berulang-ulang oleh mantan Wali Kota Solo tersebut, pemerintah berharap tahun 2016 menjadi momentum percepatan pembangunan, dan itu berarti percepatan kinerja kabinet, sehingga perekonomian nasional yang melambat pada 2015 segera bisa dipulihkan.
Problem Kabinet Kerja
Kabinet Kerja pernah dirombak pada pekan kedua Agustus 2015 yang lalu. Empat menteri dan seorang pejabat setingkat menteri dicopot, seorang lainnya dimutasi ke posisi berbeda. Namun, hasil perombakan kabinet jilid 1 tersebut tampaknya tidak memuaskan Jokowi.
Paling kurang ada tiga problem kabinet setelah perombakan tahun lalu. Pertama, ternyata tidak semua menteri bisa mengikuti irama kerja Presiden Jokowi. Sebagian menteri masih bekerja dengan kultur lama, yakni cenderung menunggu "petunjuk" atau "sinyal" dari Presiden, bahkan masih bekerja atas dasar "asal bapak senang" (ABS).
Beberapa menteri tampak sibuk, tetapi lebih sebagai rutinitas dan seremoni kementerian ketimbang sungguh-sungguh menerjemahkan Nawacita Jokowi-JK ke dalam agenda aksi dan kebijakan. Tidak mengherankan jika sejumlah survei satu tahun pemerintahan hasil Pemilu 2014 mengonfirmasi masih tingginya kekecewaan publik terhadap kinerja kabinet.
Kedua, Jokowi adalah tipikal Presiden yang lebih suka bekerja ketimbang berwacana. Karena itu, Jokowi sangat berharap agar para pembantunya memiliki inisiatif dan kreativitas dalam menerjemahkan visi-misi Jokowi-JK ke dalam kebijakan sesuai tugas dan tanggung jawab teknis kementerian masing-masing. Seperti potret dirinya, Jokowi berharap para menteri tidak bertele-tele dan cepat mengeksekusi kebijakan di dalam ruang lingkup tugas dan tanggung jawab mereka agar hasil kerja pemerintah secepatnya dapat dilihat dan dinikmati rakyat.