"Konflik di laut, bukan karena traffic, tapi karena sumber daya alam. Saya paham, isu Laut China Selatan bukan tentang menggunakan laut untuk transportasi, tapi apa yang ada di bawah laut," kata JK, saat menyampaikan pidato pada pembukaan diskusi masalah maritim di ASEAN dan Asia Timur yang digelar Asian Peace and Reconciliation Council (APRC), di Jakarta, Selasa (2/12/2014).
Lebih jauh, JK berharap, APRC bisa memberikan solusi atas konflik Laut Tiongkok Selatan melalui kerja sama ekonomi di tingkat regional. Bagi Indonesia, kata JK, Laut Tiongkok Selatan seharusnya bisa menjadi pemersatu antarnegara ASEAN. Ia mengatakan, wilayah laut itu seharusnya membawa manfaat bersama.
"Menyadari hal itu, saya pikir ASEAN dan kebijakan Tiongkok bisa dikoneksikan dengan kebijakan menyangkut apa yang penting bagi negara ASEAN. Sebagaimana Selat Malaka sangat penting bagi perdagangan di Asia dan Eropa, bagaimana traffic ini (Laut Tiongkok Selatan) menjadi penting dan bermanfaat bagi banyak negara di dunia," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum Laut Internasional Hasjim Djalal mengatakan, persoalan konflik Laut Tiongkok Selatan tak akan seelsai melalui konlfik bersenjata. Konflik bersenjata, menurut dia, hanya akan membawa kerusakan bagi semua pihak. Ia menilai, yang dibutuhkan adalah komitmen politik untuk menyelesaikan konflik secara damai.
Selama 24 tahun, Hasjim meneliti South China Sea Workshop dan menginisiasi perdamaian di wilayah laut yang memiliki nilai perdagangan mencapai 5,3 triliun USD setiap tahunnya itu.
"Yang paling sulit untuk dimengerti para pemimpin negara yang bertikai adalah tidak dibolehkannya klaim teritorial di Laut Tiongkok Selatan dan tidak mengembangkan opini publik atas konflik itu," kata Hasjim.