JAKARTA, KOMPAS.com — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dinilai telat menetapkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai bakal calon presiden sehingga tingginya elektabilitas Jokowi tidak signifikan mendongkrak popularitas PDI-P dalam Pemilu Legislatif 2014. Menurut hasil sementara perhitungan cepat Kompas, PDI-P unggul dengan perolehan suara 19,52 persen. Posisi kedua dan ketiga ditempati Partai Golkar (15,22 persen) dan Partai Gerindra (11,58 persen).
"Saya lihat, faktor lainnya, PDI-P terlambat memastikan Jokowi sebagai calon presiden," kata Koordinator Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang, dalam acara bincang-bincang di Kompas TV, Kamis (9/4/2014).
Menurut Sebastian, ketika PDI-P mengumumkan Jokowi sebagai capres, saat itu masyarakat cenderung sudah punya pilihan. Dengan demikian, pilihan masyarakat sulit diubah, begitu Jokowi dihadirkan.
Pengamat politik dari Polmark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah, menilai PDI-P terlalu menganggap enteng pertarungan politik dalam Pileg 2014. Kemenangan itu, kata Eep, harus dijemput.
Mantan pengajar di Universitas Indonesia ini menyebut PDI-P unggul dalam Pileg 2014 karena kompetitornya kerap melakukan kesalahan. "PDI-P seperti pemain bulu tangkis, dapat banyak poin bukan karena smash-nya yang menukik tajam, serangan yang mengejutkan, melainkan karena lawan mereka banyak yang permainannya menyangkut di net atau out," ujar Eep.
Fenomena ini, lanjut Eep, sedianya menjadi pengingat bagi PDI-P bahwa memenangkan pemilu tidak semudah yang dibayangkan. Dia juga menilai, kecilnya pengaruh Jokowi terhadap elektabilitas PDI-P ini bisa saja karena masyarakat Indonesia saat ini mulai memilih partai yang tidak selalu identik dengan calon presiden usungan partai tersebut.
Untuk menghadapi kecilnya efek Jokowi ini, menurut Eep, PDI-P perlu introspeksi diri. Harus ada introspeksi serius mengapa PDI-P tidak disukai seperti halnya Jokowi. "Kalau yang membuat para pemilih tidak suka pada PDI-P melekat juga pada Jokowi, daya tolak orang akan tinggi. Harus ada introspeksi," tutur Eep.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.