Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Budiman Tanuredjo
Wartawan Senior

Wartawan

“Saya kan Menteri...”

Kompas.com - 29/06/2024, 12:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KESAKSIAN demi kesaksian mengejutkan terungkap dalam persidangan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

Jaksa Penuntut Umun menuntut hukuman 12 tahun penjara atas tuduhan telah menerima uang Rp 44,26 miliar dan 30.000 dollar AS.

“Tindakan korupsi dilakukan dengan motif tamak,” kata jaksa penuntut umum dalam sidang.

Publik tentunya masih menantikan pembelaan Menteri yang berasal dari Partai Nasdem itu. Dan, kemudian vonis yang akan dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam persidangan juga terungkap, uang Rp 1,3 miliar dari Syahrul mengalir ke Ketua KPK Firli Bahuri yang telah mundur dari KPK. Namun, hingga saat ini, perkara Firli masih belum berproses ke pengadilan.

Dari panggung persidangan, publik bisa menyaksikan bagaimana kekuasaan diperlakukan oleh pemegang kuasa, yakni Sang Menteri.

Syahrul dicecar jaksa soal adanya pengiriman uang Rp 10 juta dari Kementerian Pertanian kepada Tenri Olle Yasin Limpo. Diakui Syahrul, Tenny Olle adalah kakaknya.

Jaksa mencecar lagi, bagaimana ceritanya?

Syahrul menjelaskan, Tenri Olle adalah orang yang merawat ibunya yang telah sepuh di Sulawesi Selatan.

Tenry merupakan mantan pejabat di Sulawesi Selatan. Syahrul mengaku saat itu sedang membutuhkan tenaga ahli sehingga ia meminta agar kakaknya mengisi posisi tersebut.

"Oleh karena itu, secara manusiawi saya minta kepada dirjen waktu itu atau siapa, kalau mungkin dia jadi staf ahli, atau tenaga ahli. Tenaga ahli, bukan staf ahli, kalau tenaga ahli itu berarti lepas saja, kalau staf ahli harus masuk kantor," ujar dia.

Sebagai menteri selayaknya ia bisa mencarikan pekerjaan bagi anggota keluarganya. ”Saya kan menteri, masak saya punya saudara tercecer-cecer, padahal dia punya ilmu yang cukup menurut saya seperti itu," ucap dia.

Klaim “saya kan menteri” jika terus direpetisi bisa membahayakan negara hukum. “Saya kan menteri, saya kan gubenur, saya kan bupati, saya kan Presiden” memberikan pesan bahwa negara ini telah bertransformasi menjadi negara kekuasaan.

Kesaksian Syahrul itu mencengangkan, tapi sekaligus membahayakan. Pengakuan itu membuka tabir perilaku kekuasaan.

Mumpung jadi menteri, ia memanfaatkan kekuasananya untuk kepentingan keluarganya. Mencarikan pekerjaan untuk keluarganya, untuk saudara-saudaranya atau keponakannya, atau teman dekatnya.

Itu aji mumpung. Itulah nepotisme yang ditabukan oleh Tap MPR 1998. Gelombang reformasi yang merobohkan kekuasaan Orde Baru melahirkan Tap MPR yang melarang praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) menjadi NKK (narik kanca kanca). Semangat itu telah roboh.

Semua yang mendekat kekuasaan diberi fasilitasi, diberi kenikmatan. Sedang yang memilih posisi bersebarang, hukumlah yang berbicara.

Kesaksian lain dari Syahrul, banyak menteri lain yang kerap mengajak keluarga mereka ikut serta dalam perjalanan dinas luar negeri.

"Uang perjalanan saya cukup banyak. Oleh karena itu, sepanjang saya jalan hadir dalam keluarga boleh aja dalam rombongan itu, semua menteri lakukan hal yang sama," kata Syahrul.

Hakim lantas menegur Syahrul karena membanding-bandingkan dirinya dengan menteri lain. Hakim memperingatkan Syahrul bahwa ia semestinya berpesan kepada keluarga untuk menolak berbagai pemberian yang diterima.

"Jangan lihat menteri yang lain, sedangkan Saudara sendiri, Saudara kemukakan pada awal jabatan Saudara, agar apabila ada keluarga, Saudara suruh tolak," kata hakim.

Sayang, hakim menegur. Selayaknya, hakim membiarkan saja Syahrul menceritakan bagaimana kekuasaan diperlakukan sehingga bangsa ini mendapatkan gambaran bagaimana kekuasaan bekerja sehingga generasi penerus bisa memperbaikinya.

Syahrul juga menceritakan telah memberikan uang Rp 1,3 miliar kepada Ketua KPK saat itu, Firli Bahuri.

Firli telah mundur dari KPK. Statusnya tersangka, tapi perkarnya tak maju. Kuasa hukum Firli membantah. Keterangan Syahrul itu bohong!

Nyanyian Syahrul harus jadi pelajaran. Butuh koreksi dan teladan dari pemimpin tertinggi bagaimana memperlakukan kekuasaan.

Jika katakanlah pemimpin sekarang tak ada yang bisa jadi teladan, maka belajar dari sejarah.

Ada kisah anak bangsa, seperti Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara. Dia tidak pernah tergoda mengambil uang negara yang dikelolanya. Padahal, kehidupan keluarganya kekurangan. Demi menyambung hidup, sang istri, Halimah, berjualan sukun goreng.

Ada juga kisah Baharuddin Lopa, mantan Jaksa Agung. Seperti ditulis dalam sebuah buku, seorang bupati mengisi bensin di tangki mobil Lopa. Lopa marah dan meminta agar tangki dikosongkan kembali.

Ada juga kisah Agus Salim dan kisah mantan Kapolri Jenderal Hoegeng dan mantan Wapres Mohammad Hatta.

Kisah di atas adalah sebagian litani kejujuran anak bangsa. Di tengah masifnya korupsi dan tiadanya malu melakukan nepotisme, bangsa ini pernah memiliki anak bangsa yang mengedepankan kejujuran. Mengedepankan integritas. Membedakan milikmu dan milikku. Milik pemerintah dan pribadi.

Besar kecilnya bangsa ditentukan kualitas manusianya. Mengutip Proklamator Soekarno, ”tiap bangsa punya orang besar. Tiap periode dalam sejarah mempunyai orang besar. Tetapi, lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi, lebih besar dari Stalin adalah jiwa Stalin, lebih besar dari Roosevelt adalah jiwa Roosevelt”.

Adapun Hatta dengan mengutip penyair Jerman, Friedrich Schiller, mengatakan, ”Sebuah abad besar telah lahir, tetapi ia menemukan generasi yang kerdil.”

Apakah bangsa ini tengah bergerak melahirkan generasi kerdil? Biarlah sejarah mencatatnya.

Kejujuran yang menjadi esensi penting dari Hatta mulai meredup. KPK yang awalnya dianggap sebagai kebutuhan bangsa, digerogoti dari dalam tubuhnya.

Pengadilan terhadap Syahrul bukan hanya untuk Syahrul. Namun bagaimana bangsa ini belajar dari apa yang terjadi.

Belajar bagaimana kekuasaan dipraktikkan semaunya, meski sudah ada gerakan Revolusi Mental.

Bagaimana kesamaan di muka hukum yang ada di konstitusi masih menjadi “pasal mati”, kasus Firli Bahuri berjalan di tempat.

Seorang mantan menteri menelepon saya. “Kunci dari kerusakan bangsa ini adalah partai politik.” Partai politik lebih banyak menjalankan peran sebagai pialang untuk jabatan-jabatan politik.

Jadi, dalam sistem politik seperti sekarang, jangan berharap muncul sosok seperti Syarifuddin Prawiranegara, Mohammad Hatta, IJ Kasimo, Hoegeng, Baharuruddin Lopa.

Namun, saya mengatakan, bangsa ini tetap membutuhkan harapan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pertama di Indonesia, Pemprov Sumsel dan PT KPI Bangun Taman Rawa dengan 55 Spesies Pohon Langka

Pertama di Indonesia, Pemprov Sumsel dan PT KPI Bangun Taman Rawa dengan 55 Spesies Pohon Langka

Nasional
TNI Tunggu Penyelidikan soal Dugaan Keterlibatan Prajurit dalam Kebakaran Rumah Wartawan di Karo

TNI Tunggu Penyelidikan soal Dugaan Keterlibatan Prajurit dalam Kebakaran Rumah Wartawan di Karo

Nasional
Kunker ke Surabaya, Wapres Resmikan Pembukaan Asian-Pacific Aquaculture 2024

Kunker ke Surabaya, Wapres Resmikan Pembukaan Asian-Pacific Aquaculture 2024

Nasional
Kapolri Minta Otopsi Ulang Jenazah Afif Maulana Libatkan Pihak Luar, Demi Transparansi

Kapolri Minta Otopsi Ulang Jenazah Afif Maulana Libatkan Pihak Luar, Demi Transparansi

Nasional
Bertemu MPR, Zulhas Minta Presiden Tetap Dipilih Rakyat

Bertemu MPR, Zulhas Minta Presiden Tetap Dipilih Rakyat

Nasional
Ibu Afif Maulana: Pak Kapolri dan Kapolda, Tolong Cari Penganiaya Anak Saya, Bukan yang Memviralkan

Ibu Afif Maulana: Pak Kapolri dan Kapolda, Tolong Cari Penganiaya Anak Saya, Bukan yang Memviralkan

Nasional
Sidang Putusan Dugaan Asusila, Ketua KPU Hasyim Asy'ari Hadir Virtual

Sidang Putusan Dugaan Asusila, Ketua KPU Hasyim Asy'ari Hadir Virtual

Nasional
Mensos Sebut Data DTKS Penerima Bansos Aman dari Peretasan PDN

Mensos Sebut Data DTKS Penerima Bansos Aman dari Peretasan PDN

Nasional
Singgung Altet Badminton China yang Meninggal, Menkes Sebut Layanan Katerisasi Jantung Belum Merata

Singgung Altet Badminton China yang Meninggal, Menkes Sebut Layanan Katerisasi Jantung Belum Merata

Nasional
Menko PMK Usul Bandar sampai Pemain Judi 'Online' Disanksi Maksimal

Menko PMK Usul Bandar sampai Pemain Judi "Online" Disanksi Maksimal

Nasional
Ayah Afif Maulana: Kami Enggak Tahu Mau Percaya Polisi atau Tidak...

Ayah Afif Maulana: Kami Enggak Tahu Mau Percaya Polisi atau Tidak...

Nasional
Wakil Ketua KPK Sebut Loyalitas Ganda Pegawai dari Luar Jadi Tantangan

Wakil Ketua KPK Sebut Loyalitas Ganda Pegawai dari Luar Jadi Tantangan

Nasional
Data Bais Diretas, TNI: Sudah Ditangani Kemenko Polhukam dan BSSN

Data Bais Diretas, TNI: Sudah Ditangani Kemenko Polhukam dan BSSN

Nasional
Luhut: Beruntung Jokowi Larang Ekspor Nikel...

Luhut: Beruntung Jokowi Larang Ekspor Nikel...

Nasional
Menelisik Pelaksanaan Haji Indonesia 2024

Menelisik Pelaksanaan Haji Indonesia 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com