JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana menggenjot ekspor tanaman kratom.
Rencana itu makin dimatangkan dengan pembatasan eksportir agar mutu dan kualitas tanaman herbal tersebut terjaga.
Hal ini merupakan salah satu poin keputusan rapat terbatas Presiden Joko Widodo bersama sejumlah menteri terkait soal kratom di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (20/6/2024).
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan, lewat pembatasan eksportir, standar mutu dan kualitas akan membaik.
"Kemendag akan menentukan eksportir terbatas agar tidak semua bisa ekspor yang akhirnya tidak terjaga dengan baik kualitasnya," kata Moeldoko usai rapat terbatas, Kamis.
Baca juga: BPOM: Uji Keamanan Kratom dalam Tahap In Vivo pada Hewan
Beberapa negara sempat menolak daun kratom asal Indonesia dari para eksportir.
Sebab, daun kratom yang diekspor mengandung bakteri salmonella, e.coli, dan logam berat.
Kualitas mutu eksportir yang berbeda-beda ini juga diakui oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan pada kesempatan yang sama.
Sejauh ini, kata dia, ekspor daun kratom memang masih bebas sehingga kualitas mutu dan standarnya tidak memadai. Hal ini pun memengaruhi harga daun kratom yang diperjualbelikan.
"Kratom kan diekspor bebas, karena diekspor bebas, mutunya buruk, harganya murah. Tadi rapat memutuskan akan diatur tata niaganya kratom agar Menteri Perdagangan nanti mengatur untuk eksportir yang terdaftar sehingga mutu standar akan dikendalikan," papar Zulhas.
Di tengah rencana tersebut, aspek legalitas tanaman kratom masih dipertanyakan.
Badan Narkotika Nasional (BNN) memasukkan daun kratom sebagai new psychoactive substances (NPS) di Indonesia dan merekomendasikannya ke dalam jenis narkotika golongan 1 dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 lantaran memiliki efek samping yang membahayakan, terlebih bila penggunaannya tidak sesuai takaran.
Baca juga: Kratom di Antara Cuan atau Kecanduan
Ketika membahas rencana peningkatan ekspor, Kepala BNN Marthinus Hukom belum lama ini menyatakan akan mempelajari lebih dulu efeknya.
Begitu pula berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan dan melihat kembali kebijakan pemerintah mengenai golongan narkotika. Ia tidak ingin mengambil keputusan terburu-buru demi keselamatan manusia.
Moeldoko juga tidak memungkiri bahwa tanaman ini disebut-sebut memiliki efek sedatif (penenang).