“... Cukup sekali aku merasa
Kegagalan cinta
Takkan terulang kedua kali
Di dalam hidupku...”
LIRIK lagu “Kegagalan Cinta” karya Rhoma Irama terngiang di telinga kebisingan politik atas isu Uang Kuliah Tunggal (UKT), isu Vina, isu penguntitan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus oleh Densus 88, isu Tapera. Tiba-tiba publik dikejutkan kabar dari Mahkamah Agung.
Bergerak senyap dan rahasia, dalam waktu tiga hari, MA meminta KPU mengubah Peraturan KPU No 9/2020 tentang aturan tahapan pencalonan kepala daerah. Hebohlah republik.
Rasanya petikan lagu itu pas dengan suasana kebatinan bangsa ini (tentunya bagi yang bisa merasakannya). Seperti dalam lirik itu, “cukup sekali aku merasa kegagalan cinta”.
Sebagian dari publik masih belum lupa ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah pasal dalam UU Pemilu soal syarat umur menjadi calon presiden dan calon wapres.
Kesepakatan politik DPR dan Pemerintah menetapkan calon presiden dan calon wapres adalah 40 tahun.
Pasal itu diuji materi dan MK mengabulkan calon presiden dan calon wapres bisa di bawah 40 tahun asal pernah atau sedang menjabat suatu jabatan yang dipilih melalui Pemilu.
Akibat putusan itu, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang belum 40 tahun, memenuhi syarat menjadi calon wapres dan kemudian terpilih sebagai wakil presiden.
Sebagian publik yang masih komit dan cinta pada prinsip negara hukum, negara demokrasi, merasa galau. Putusan MK itu membuat publik merasakan kegagalan cinta pada ide negara hukum.
Putusan MK telah membuat prinsip negara hukum (Rechtstaat) goyah dan menjadi negara kekuasaan (Machstaat). Hukum atau aturan disesuaikan mengikuti kepentingan pihak yang berkuasa. Hukum akan menyesuaikan dengan selera penguasa.
Bangsa ini tampak sedang berada di simpang jalan. Antara demokrasi atau otoritarian? Antara negara hukum dan negara kekuasaan?
Saya sempat bertanya pada salah seorang hakim terpandang. Ia mengatakan, “Saya tidak paham, mas. Yang jelas negara hukum ini makin tak jelas arahnya atau makin jelas menuju kehancuran.”
Hakim lain mengatakan, cara berpikir seorang hakim kadang mengambil posisi putusan dahulu. Setelah putusan diambil, alasan baru akan dicari, pertimbangan bisa dicari.”
Belum pulih luka publik atas perusakan terhadap prinsip negara hukum oleh Mahkamah Konstitusi, pola yang sama kini diikuti oleh Mahkamah Agung.
Tiga hakim agung Julius, Cerah Bangun, dan Yodi Martono Wahyunadi dalam waktu tiga hari meminta Komisi Pemilihan Umum mengubah aturan soal syarat usia calon gubernur.