Pada September 2021, Amerika Serikat merespons ulah China tersebut dengan membentuk aliansi AUKUS, yang merupakan akronim dari Australia, United Kingdom (UK), dan United States (US). Dalam hal ini, Australia diberi teknologi untuk membangun kapal selam bertenaga nuklir.
Lewat pernyataan pers di laman Departemen Luar Negeri AS, pembentukan AUKUS yang beranggotakan AS, Inggris, dan Australia, itu disebut akan membantu Negara Paman Sam menghadapi tantangan di masa depan.
“Memperkuat pertahanan kita (AS), meningkatkan pencegahan, dan berkontribusi terhadap perdamaian, keamanan, dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik dan sekitarnya,” kata Ketua Hubungan Luar Negeri Senat AS Bob Menendez.
Sebelumnya, AS bersama India, Jepang, dan Australia juga telah membentuk aliansi di kawasan Indo-Pasifik, yakni QUAD pada 2007. Indonesia menyadari adanya konflik major power antara AS dan sekutunya dengan China di kawasan. Sengketa LCS menjadi makin kompleks.
“Amerika Serikat membangun kekuatan aliansi yaitu AUKUS dan QUAD, untuk membendung pengaruh China di kawasan. AS ingin menegaskan agar prinsip freedom of navigation tetap berlaku di LCS,” ujar Menko Polhukam Hadi.
Baca juga: Menko Polhukam: AS Bangun AUKUS dan QUAD untuk Bendung China di LCS
Kepala Staf TNI AU periode 2002-2005 yang juga Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia, Marsekal (Purn) Chappy Hakim mengatakan, AUKUS dan QUAD merupakan upaya AS untuk menyeimbangkan kekuatan barat dengan China di Indo-Pasifik.
“South China Sea (LCS) itu kenapa diangkat? Karena AS mau meningkatkan balance of power, kekuatan barat di Indo-Pasifik,” kata Chappy Hakim saat diwawancarai Kompas.com, Senin (27/5/2024).
Indonesia aktif berperan melaksanakan perdamaian, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Alinea 4, ‘..melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial’.
Indonesia juga bersama negara-negara di Asia Tenggara menyusun dokumen code of conduct (COC) on South China Sea antara ASEAN dan China untuk mengelola tata perilaku negara di LCS. Pemerintah ingin mengubah LCS menjadi “sea of peace”. Namun, itu belum cukup.
Pelanggaran wilayah kedaulatan maritim di Laut Natuna Utara, yang berbatasan dengan LCS, terus terjadi. Terbaru, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan (Ditjen PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap dua kapal ikan berbendera Vietnam yang mengambil ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, pada 5 Mei 2024. Dua nahkoda, 20 anak buah kapal (ABK), dan 15 ton ikan menjadi barang bukti.
Data Indonesia Ocean Justice Initiative menunjukkan illegal fishing dominan di Natuna Utara atau sekitar LCS. Data Mei 2022, misalnya, ada 60 kapal berbendara Vietnam menangkap ikan secara ilegal di Natuna Utara ZEE Indonesia non-sengketa.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: 78,9 Responden Sebut Kehadiran China di Laut China Selatan Jadi Ancaman
Indonesia, sekali lagi, bukan negara claimant atau yang bersengketa di LCS. Namun, bukan berarti Indonesia tidak memiliki catatan konflik dengan China di LCS.
Pada 2016, kapal pengawas perikanan Hiu 11 gagal menangkap kapal ikan ilegal KM Kway Fey 10078 asal China karena dikawal kapal patroli China sewaktu mencuri ikan.
Setelah insiden itu, sejumlah kapal China ditangkap kapal TNI Angkatan Laut. Data Litbang Kompas mencatat, ketegangan kembali terjadi dalam proses penangkapan, salah satunya saat KRI Imam Bonjol-383 menangkap kapal China dengan nomor lambung 19038, pada 17 Juni 2016. Dalam penangkapan itu, kapal coast guard China sempat mengejar dan meminta kapal nelayan tersebut dilepaskan.
Peristiwa lain terjadi akhir Mei 2016, yakni ketika KRI Oswald Siahaan-354 menangkap kapal Gui Bei Yu di Laut Natuna.
Meminjam pernyataan Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto saat acara pameran Indo Defence Expo & Forum, 27 Oktober 2022, bahwa perang bisa terjadi kapan saja.
“Tidak ada bangsa di dunia yang niat untuk perang, tapi kenyataannya perang selalu terjadi,” kata Prabowo.
Jika ingin damai, lanjut Prabowo, kita juga harus siap perang. Seperti halnya pepatah latin, “Si vis pacem, para bellum”.
Mengatasi konflik di Natuna Utara dan LCS, Chappy Hakim menyarankan ada penguatan komando dan pengendalian (kodal). Mantan KSAU itu menyarankan komando pertahanan dan keamanan harus dalam satu kendali.
“Kalau kita menganggap South China Sea kritis, kita susah. Kenapa? Karena kekuatan maritim kita belum terpadu, tidak di bawah satu komando,” kata Chappy kepada Kompas.com, Senin (27/5/2024).
Dalam bayangannya, operasi kapal perang TNI AL, kapal coast guard Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga kapal Bea Cukai berada dalam satu komando.
Baca juga: Bakamla Usul Maksimalkan Coast Guard Atasi Pelanggaran di Laut China Selatan
“Kalau satuan laut tidak terpadu, tidak mungkin bisa mengatasi apa pun,” tutur Chappy.