Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penguatan Komando dan Interoperabilitas di Kawasan Laut China Selatan

Kompas.com - 31/05/2024, 07:30 WIB
Nirmala Maulana Achmad,
Ardito Ramadhan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Laut China Selatan, atau LCS, berada di halaman depan Indonesia, dan tentunya kita tidak ingin melihat adanya konflik atau bahkan terjadinya perang terbuka di kawasan itu.”

Itu dikatakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto saat didapuk sebagai pembicara kunci dalam diskusi daring Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) bertajuk “Menjaga Kedaulatan dan Mencari Kawan di Laut China Selatan”, 19 Maret 2024.

Hadi, yang merupakan mantan Panglima TNI dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU), mengatakan bahwa instabilitas dan konflik di LCS akan berdampak secara global, serta mengancam keamanan nasional dan kepentingan ekonomi Indonesia di kawasan.

Dalam konteks geostrategi dan geopolitik, LCS merupakan wilayah yang memiliki nilai strategis tinggi dan menyimpan sumber daya alam (SDA) melimpah. LCS dilewati sepertiga kapal kargo perdagangan dunia. LCS juga menyimpan cadangan gas alam dan minyak bumi.

Setidaknya ada enam negara bersengketa di LCS. Wilayah di sekitar Kepulauan Spratly dan Paracel paling sering disengketakan oleh negara-negara claimant. Spratly yang paling dekat dengan Indonesia dibanding Paracel.

Baca juga: Menko Polhukam: Kita Tak Ingin Ada Perang Terbuka di Laut China Selatan

“Dari pemberitaan-pemberitaan, yang menjadi situasi panas adalah situasi yang dekat dengan Kepulauan Spratly, dekat (Selat) Taiwan,” ujar Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali di Markas Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), Tanjung Priok, Jakarta Utara, 25 Januari 2023, menjawab pemberitaan kapal coast guard atau penjaga pantai dari China wara-wiri di Laut Natuna Utara yang merupakan wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

Data Litbang Kompas mencatat, ada simpanan utama minyak dan gas yang belum dieksploitasi berada di bawah laut LCS.

Terdapat kandungan minyak bumi, salah satunya di Kepulauan Spratly yang diperkirakan memiliki kandungan minyak hingga 17,7 miliar ton. Ada pula kandungan hidrokarbon (data Survei Geologi Amerika Serikat) yang 60 sampai 70 persen di antaranya merupakan gas alam.

Jika dilihat dari peta, jarak antara Spratly ke Laut Natuna Utara sepanjang Pulau Jawa. Indonesia juga bukan negara claimant atau yang ikut bersengketa. Namun demikian, LCS yang luasnya 3,5 kilometer persegi merupakan halaman depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kondisi terkini LCS

Akar masalah dari konflik di LCS adalah klaim China terhadap nine dash line atau sembilan garis putus-putus. Klaim itu didasarkan peta Negeri Tirai Bambu pada 1947. Namun, klaim itu ditentang oleh negara-negara claimant lainnya.

Negara-negara claimant, dan juga Indonesia, berpatokan pada Kovensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA) juga telah memvonis ilegal klaim soal sembilan garis putus-putus itu pada 2016.

Namun, China terus berulah. Lewat China Standar Map Edition 2023, mereka mengeklaim ten dash line atau sepuluh garis putus-putus.

Baca juga: Menko Polhukam: RI Konsisten Sampaikan Keberatan Peta 10-Dash Line China

Laporan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (BNPP RI) menyebut, ten dash line tersebut melingkar sejauh 1.500 kilometer di selatan Pulau Hainan dan memotong zona ekonomi eksklusif (ZEE) Malaysia, dekat Sabah dan Sarawak, lalu Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, hingga ke teritorial perairan Indonesia.

Sepuluh garis putus-putus itu membentuk huruf ‘U’ dan menunjukkan China memperluas klaim wilayah geografis LCS sampai 90 persen.

"Indonesia sebagai negara non-claimant secara konsisten menyampaikan keberatan karena peta tersebut tidak berdasarkan pada UNCLOS 1982,” ujar Menko Polhukam Hadi.

Penolakan juga diutarakan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi yang mengatakan bahwa penarikan garis atau klaim apa pun, harus sesuai dengan UNCLOS 1982.

India bahkan juga memprotes klaim ten dash line. Alasannya, peta baru China itu memasukkan wilayah Arunachal Pradesh dan Aksai Chin ke dalam peta tersebut.

Baca juga: Anarki Laut China Selatan dan Urgensi Strategi Zero Conflict

Sejalan dengan itu, kondisi LCS terus memanas.

Jurnalis asal Filipina, Frances Mangosing dalam kicauan di akun X miliknya, 9 Desember 2023, melaporkan kapal coast guard China menembakkan meriam air ke kapal perikanan Filipina di dekat Panatag atau Karang Scarborough.

Dalam unggahan yang disertai video, tampak dua kapal penjaga laut China memiliki ukuran yang jauh lebih besar daripada kapal perikanan Filipina.

Frances MangosingTangkapan Layar Frances Mangosing

Klaim China terkait kawasan LCS terus berlanjut. Maret 2024, Radio Free Asia melaporkan, pemerintah China mengumumkan garis dasar yang mengeklaim wilayahnya di bagian utara Teluk Tonkin dengan Vietnam.

Lewat pernyataan pers di laman Kementerian Luar Negeri China, Negeri Tirai Bambu merilis tujuh titik dasar yang terhubung dan membentuk garis dasar baru untuk mengeklaim kedaulatan China di Teluk Tonkin atau Teluk Beibu.

Aliansi AS Bendung China

Pada September 2021, Amerika Serikat merespons ulah China tersebut dengan membentuk aliansi AUKUS, yang merupakan akronim dari Australia, United Kingdom (UK), dan United States (US). Dalam hal ini, Australia diberi teknologi untuk membangun kapal selam bertenaga nuklir.

Lewat pernyataan pers di laman Departemen Luar Negeri AS, pembentukan AUKUS yang beranggotakan AS, Inggris, dan Australia, itu disebut akan membantu Negara Paman Sam menghadapi tantangan di masa depan.

“Memperkuat pertahanan kita (AS), meningkatkan pencegahan, dan berkontribusi terhadap perdamaian, keamanan, dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik dan sekitarnya,” kata Ketua Hubungan Luar Negeri Senat AS Bob Menendez.

Sebelumnya, AS bersama India, Jepang, dan Australia juga telah membentuk aliansi di kawasan Indo-Pasifik, yakni QUAD pada 2007. Indonesia menyadari adanya konflik major power antara AS dan sekutunya dengan China di kawasan. Sengketa LCS menjadi makin kompleks.

“Amerika Serikat membangun kekuatan aliansi yaitu AUKUS dan QUAD, untuk membendung pengaruh China di kawasan. AS ingin menegaskan agar prinsip freedom of navigation tetap berlaku di LCS,” ujar Menko Polhukam Hadi.

Baca juga: Menko Polhukam: AS Bangun AUKUS dan QUAD untuk Bendung China di LCS

Kepala Staf TNI AU periode 2002-2005 yang juga Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia, Marsekal (Purn) Chappy Hakim mengatakan, AUKUS dan QUAD merupakan upaya AS untuk menyeimbangkan kekuatan barat dengan China di Indo-Pasifik.

South China Sea (LCS) itu kenapa diangkat? Karena AS mau meningkatkan balance of power, kekuatan barat di Indo-Pasifik,” kata Chappy Hakim saat diwawancarai Kompas.com, Senin (27/5/2024).

Indonesia aktif berperan melaksanakan perdamaian, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Alinea 4, ‘..melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial’.

Indonesia juga bersama negara-negara di Asia Tenggara menyusun dokumen code of conduct (COC) on South China Sea antara ASEAN dan China untuk mengelola tata perilaku negara di LCS. Pemerintah ingin mengubah LCS menjadi “sea of peace”. Namun, itu belum cukup.

Pelanggaran wilayah kedaulatan maritim di Laut Natuna Utara, yang berbatasan dengan LCS, terus terjadi. Terbaru, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan (Ditjen PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap dua kapal ikan berbendera Vietnam yang mengambil ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, pada 5 Mei 2024. Dua nahkoda, 20 anak buah kapal (ABK), dan 15 ton ikan menjadi barang bukti.

Data Indonesia Ocean Justice Initiative menunjukkan illegal fishing dominan di Natuna Utara atau sekitar LCS. Data Mei 2022, misalnya, ada 60 kapal berbendara Vietnam menangkap ikan secara ilegal di Natuna Utara ZEE Indonesia non-sengketa.

Baca juga: Survei Litbang Kompas: 78,9 Responden Sebut Kehadiran China di Laut China Selatan Jadi Ancaman

Indonesia, sekali lagi, bukan negara claimant atau yang bersengketa di LCS. Namun, bukan berarti Indonesia tidak memiliki catatan konflik dengan China di LCS.

Pada 2016, kapal pengawas perikanan Hiu 11 gagal menangkap kapal ikan ilegal KM Kway Fey 10078 asal China karena dikawal kapal patroli China sewaktu mencuri ikan.

Setelah insiden itu, sejumlah kapal China ditangkap kapal TNI Angkatan Laut. Data Litbang Kompas mencatat, ketegangan kembali terjadi dalam proses penangkapan, salah satunya saat KRI Imam Bonjol-383 menangkap kapal China dengan nomor lambung 19038, pada 17 Juni 2016. Dalam penangkapan itu, kapal coast guard China sempat mengejar dan meminta kapal nelayan tersebut dilepaskan.

Peristiwa lain terjadi akhir Mei 2016, yakni ketika KRI Oswald Siahaan-354 menangkap kapal Gui Bei Yu di Laut Natuna.

Meminjam pernyataan Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto saat acara pameran Indo Defence Expo & Forum, 27 Oktober 2022, bahwa perang bisa terjadi kapan saja.

“Tidak ada bangsa di dunia yang niat untuk perang, tapi kenyataannya perang selalu terjadi,” kata Prabowo.

Jika ingin damai, lanjut Prabowo, kita juga harus siap perang. Seperti halnya pepatah latin, “Si vis pacem, para bellum”.

Penguatan komando dan interoperabilitas

Mengatasi konflik di Natuna Utara dan LCS, Chappy Hakim menyarankan ada penguatan komando dan pengendalian (kodal). Mantan KSAU itu menyarankan komando pertahanan dan keamanan harus dalam satu kendali.

“Kalau kita menganggap South China Sea kritis, kita susah. Kenapa? Karena kekuatan maritim kita belum terpadu, tidak di bawah satu komando,” kata Chappy kepada Kompas.com, Senin (27/5/2024).

Dalam bayangannya, operasi kapal perang TNI AL, kapal coast guard Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga kapal Bea Cukai berada dalam satu komando.

Baca juga: Bakamla Usul Maksimalkan Coast Guard Atasi Pelanggaran di Laut China Selatan

“Kalau satuan laut tidak terpadu, tidak mungkin bisa mengatasi apa pun,” tutur Chappy.

Chappy mencontohkan Satuan Tugas (Satgas) 115 yang dibentuk era Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Satgas 115 diklaim melumpuhkan ratusan kapal ikan asing (KIA) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).

Dengan adanya semacam satgas tersebut, penanganan masalah bisa dilakukan dengan baik karena operasi TNI AL, Bakamla, Polairud, Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, hingga Bea Cukai berada dalam payung yang sama.

“Bu Susi itu sasarannya maling ikan sebenarnya. Tetapi secara tidak disadari, itu adalah inti dari maritime national security. Memegang kendali. Kan semua tunduk sama Komandan Satgas,” ujar Chappy.

Chappy mengatakan, saat ini, operasi di Natuna Utara dan kawasan LCS membuat Bakamla kebingungan.

Kepala Bakamla RI Laksamana Madya Irvansyah dalam diskusi daring ISDS, 19 Maret silam, pernah mengusulkan agar coast guard dimajukan dalam operasi di LCS.

"Dalam negeri sendiri, kami berpendapat mungkin dalam waktu damai, coast guard dimajukan dan di-back-up TNI di Laut Natuna Utara. Kami berpandangan untuk meredakan ketegangan di LCS, kalau militer dimajukan, itu tensinya cenderung naik," kata Irvansyah mengusulkan konsep operasi.

Di sisi lain, Indonesia juga sedang menyempurnakan lembaga Coast Guard atau Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai karena tumpang tindihnya coast guard yang ada sekarang.

Baca juga: Indonesia Ingin Bentuk Coast Guard untuk Halau Operasi di Laut China Selatan

Mahfud MD saat masih menjadi Menko Polhukam mengatakan dalam seminar bertajuk "Pembangunan Keamanan Laut Untuk Mendukung Pencapaian Target RPJPN 2025-2045", 5 Juli 2023, menyampaikan arahan Presiden Joko Widodo dalam pembentukan coast guard; untuk melakukan penjagaan keamanan, penyelenggaraan keselamatan, penegakan hukum di perairan dan yurisdiksi Indonesia.

Selain itu, interoperabilitas TNI dalam menjaga kawasan Natuna Utara dan LCS juga perlu ditingkatkan. TNI menyadari pentingnya interoperabilitas kekuatan ketiga matra dalam menghadapi berbagai tugas.

Hal ini disampaikan Letnan Jenderal TNI (Purn) Muhammad Herindra sewaktu masih menjadi Kepala Staf Umum (Kasum) TNI dalam peluncuran dan bedah buku “75 Tahun TNI”, 2 November 2020.

Interoperabilitas itu harus ditingkatkan karena dinamika keamanan global yang terus berevolusi, terutama di LCS. Terlebih, TNI juga tengah memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).

Lead analyst dari Semar Sentinel Indonesia Andi Raihanah Ashar mengatakan, upaya modernisasi alutsista itu perlu mempertimbangkan strategi untuk memaksimalkan efektivitas operasional dan kemampuan situational awareness.

“Ini bisa dilakukan dengan mengadopsi prinsip-prinsip collaborative combat dan interoperabilitas agar TNI dapat mengidentifikasi ancaman dan merespons dengan cepat,” kata Raihanah kepada Kompas.com, Kamis (30/5/2024).

Konsep tersebut menggarisbawahi pentingnya pertukaran dan pemanfaatan informasi untuk mengembangkan kemampuan anti-kapal selam atau anti-submarine, anti-surface (ASUW), dan anti-air (AAW) warfare yang didukung sistem akustik dan sensor yang canggih. Integrasi dilakukan melalui combat management system (CMS) dan sistem tactical data link.

Selain itu, integrasi kemampuan tiga matra TNI perlu dimaksimalkan lewat collaborative combat guna meningkatkan pengambilan keputusan yang efisien. Hal ini dapat direalisasikan dengan pemanfaatan command and control (C2) dan juga command, control, communications, computers, intelligence, surveillance, and reconnaissance (C4ISR).

Lebih jauh lagi, Chappy mengatakan bahwa Indonesia harus memiliki sistem konsep pertahanan dan keamanan yang jelas, termasuk konsep pengamanan laut secara nasional. Ia juga mendorong agar pemerintah mulai memikirkan dan mengembangkan cyber dan smart war.

Baca juga: Chappy Hakim: Sekarang Era Cyber War, Pengintaian Tak Mesti Pakai Pesawat

Chappy mencontohkan smart war adalah peristiwa terbunuhnya Presiden Iran Ebrahim Raisi dalam kecelakan helikopter. Iran kehilangan panglima tertinggi ketika sedang berperang dengan Israel.

Ciri cyber dan smart war adalah penggunaan articial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, kendali autonomous, dan drone. Jika itu tidak dipikirkan dari sekarang, Indonesia akan ketinggalan.

“Kalau ditarik, kita tidak punya konsep pertahanan dan keamanan, konsep pengamanan laut secara nasional. Kalau yang di atas tidak ada dasarnya, yang bawah akan jalan sendiri-sendiri. Intinya adalah konsep, lalu bicara tugas-tugas di bawahnya,” kata Chappy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Laporkan Persoalan PDN, Menkominfo Bakal Ratas dengan Jokowi Besok

Laporkan Persoalan PDN, Menkominfo Bakal Ratas dengan Jokowi Besok

Nasional
PDN Diretas, Puan: Pemerintah Harus Jamin Hak Rakyat atas Keamanan Data Pribadi

PDN Diretas, Puan: Pemerintah Harus Jamin Hak Rakyat atas Keamanan Data Pribadi

Nasional
TB Hasanuddin Titipkan 'Anak' Bantu BSSN Buru 'Hacker' PDN

TB Hasanuddin Titipkan "Anak" Bantu BSSN Buru "Hacker" PDN

Nasional
Prabowo Ungkap Arahan Jokowi untuk Pemerintahannya

Prabowo Ungkap Arahan Jokowi untuk Pemerintahannya

Nasional
Bantah PKS Soal Jokowi Sodorkan Namanya Diusung di Pilkada Jakarta, Kaesang: Bohong

Bantah PKS Soal Jokowi Sodorkan Namanya Diusung di Pilkada Jakarta, Kaesang: Bohong

Nasional
Diwarnai Demo Udara, KSAL Sematkan Brevet Kehormatan Penerbal ke 7 Perwira Tinggi

Diwarnai Demo Udara, KSAL Sematkan Brevet Kehormatan Penerbal ke 7 Perwira Tinggi

Nasional
Data PDN Tidak 'Di-back Up', DPR: Ini Kebodohan, Bukan Masalah Tata Kelola

Data PDN Tidak "Di-back Up", DPR: Ini Kebodohan, Bukan Masalah Tata Kelola

Nasional
Didesak Mundur dari Menkominfo Buntut Peretasan PDN, Budi Arie: Tunggu Saja

Didesak Mundur dari Menkominfo Buntut Peretasan PDN, Budi Arie: Tunggu Saja

Nasional
Dalam Rapat, DPR Tanyakan Isu Adanya Kelalaian Pegawai Telkom dalam Peretasan PDN

Dalam Rapat, DPR Tanyakan Isu Adanya Kelalaian Pegawai Telkom dalam Peretasan PDN

Nasional
Minta Literasi Bahaya Judi “Online” Digalakkan, Wapres: Jangan Sampai Kita Jadi Masyarakat Penjudi!

Minta Literasi Bahaya Judi “Online” Digalakkan, Wapres: Jangan Sampai Kita Jadi Masyarakat Penjudi!

Nasional
Menkominfo Berkelit Banyak Negara Diserang Ransomware, Dave: Penanganannya Hitungan Jam

Menkominfo Berkelit Banyak Negara Diserang Ransomware, Dave: Penanganannya Hitungan Jam

Nasional
Mandiri Jogja Marathon 2024 Kembali Digelar, Bangkitkan Semangat Keberlanjutan dan Ekowisata

Mandiri Jogja Marathon 2024 Kembali Digelar, Bangkitkan Semangat Keberlanjutan dan Ekowisata

Nasional
Alasan Safenet Galang Petisi Tuntut Budi Arie Mundur dari Menkominfo...

Alasan Safenet Galang Petisi Tuntut Budi Arie Mundur dari Menkominfo...

Nasional
PDNS Diretas, Jokowi Diingatkan Tak Jadikan Jabatan Menkominfo 'Giveaway'

PDNS Diretas, Jokowi Diingatkan Tak Jadikan Jabatan Menkominfo "Giveaway"

Nasional
Singgung Bantuan FBI, DPR Sebut Ada Harapan Data PDN Bisa Pulih

Singgung Bantuan FBI, DPR Sebut Ada Harapan Data PDN Bisa Pulih

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com