Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Revisi UU MK Bukan soal Penegakkan Konstitusi, Ini soal Kepentingan Politik Jangka Pendek"

Kompas.com - 15/05/2024, 17:51 WIB
Novianti Setuningsih

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menduga, banyak kepentingan yang hendak dicapai melalui upaya merevisi Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebab, menurut Feri, ada yang janggal dalam aturan mengenai masa jabatan hakim yang diatur dalam draf revisi UU MK tersebut. Sehingga, dia mencurigai bahwa revisi tersebut hanyalah alat sandera untuk kepentingan politik.

“Ini kan lucu-lucuan sebenarnya DPR ini. Kalau kita baca baik-baik (draf revisi), kalau (hakim konstitusi) lebih dari lima tahun harus konfirmasi lembaga pengusul, 10 tahun lanjutkan sampai 70 tahun. Itu logikanya dari mana,” kata Feri dalam program Obrolan Newsroom bersama Kompas.com, Selasa (14/5/2024).

“Kan harusnya kalau orang yang sudah lama panjang tugasnya 10 tahun, dia yang harus dicek ya, siapa tahu karena faktor sumber daya manusia orang Indonesia yang kalau sudah mendekati 70 tahun sudah mulai pikun dan sebagainya. Ini malah yang lima tahun lebih yang mau dikoreksi ulang, itu kan enggak nyambung logikanya,” ujarnya lagi.

Baca juga: Revisi UU MK Dinilai Cenderung Jadi Alat Sandera Kepentingan, Misalnya Menambah Kementerian

Dalam Pasal 87 huruf a draf revisi UU MK memang berbunyi, "hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun, melanjutkan jabatannya sampai dengan 10 tahun sejak tanggal penetapan Keputusan Presiden mengenai pengangkatan pertama hakim konstitusi yang bersangkutan jika mendapat persetujuan dari lembaga pengusul".

Huruf b berbunyi, "hakim konstitusi yang sedang menjabat dan masa jabatannya telah lebih dari 10 tahun, masa jabatannya berakhir mengikuti usia pensiun 70 tahun berdasarkan undang-undang ini, selama masa jabatannya tidak melebihi 15 tahun sejak tanggal penetapan Keputusan Presiden mengenai pengangkatan pertama hakim konstitusi yang bersangkutan".

Apalagi, Feri menyebut, publik tidak pernah mendapatkan akses pada naskah akademik yang berisi kajian atau pertimbangan sehingga UU MK harus direvisi.

Atas dasar itu, dia mengatakan, ada kecenderungan revisi UU MK dilakukan hanya untuk kepentingan politik jangka pendek.

“Upaya revisi ini kepentingannya bukan soal legislasi yang baik dan benar, bukan soal penegakkan konstitusi yang baik dan benar, ini soal kepentingan politik jangka pendek yang harus diselesaikan,” kata Feri.

Terkait kepentingan politik, Feri menyinggung perihal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020. Lalu, sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) terkait pemilihan legislatif (Pileg) 2024 yang sedang berlangsung di MK.

“Siapa tahu ini alat sandera karena sidang PHPU Pileg dan menjelang Pilkada. Jadi banyak sekali alat kepentingan yang sedang mau digunakan melalui (revisi) UU MK ini,” ujarnya.

Baca juga: Sentil DPR soal Revisi UU MK, Pakar: Dipaksakan, Kental Kepentingan Politik

Selain itu, Feri juga menyinggung kepentingan terkait Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Sebab, sudah menjadi isu umum bahwa ada wacana penambahan jumlah kementerian di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

“Kalau dilihat konteks politik kekinian, menurut saya, pembahasan revisi UU MK kali ini punya kecenderungan untuk menjadi alat sandera kepentingan pemerintah ke depan khususnya pembahasan soal UU kementerian negara,” katanya.

Menurut Feri, pemerintah akan sulit menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengakomodasi kepentingan menambah jumlah kementerian.

Sebab, dalam pandangannya, menerbitkan Perppu hanya untuk mengubah jumlah kementerian di UU Kementerian Negara tidak sesuai dengan tiga syarat terbitnya perppu, yakni ada kekosongan hukum; ada hukumnya tetapi tidak menyelesaikan masalah; dan membuat UU memerlukan waktu yang lama sedangkan keadaan mendesak.

“Ini bakal dijadikan alat transaksi untuk kepentingan misalnya menambah jumlah kementerian karena kalau presiden berupaya untuk perppu, itu kan kehilangan konteks konstitusionalnya,” ujar Feri.

“Jadi, menurut saya, ini sandera kepentingan terhadap hakim-hakim konstitusi yang membandel karena sibuk berupaya menegakkan nilai konstitusi, tidak kepentingan politik para politisi,” katanya melanjutkan

Baca juga: Utak-atik Masa Jabatan Hakim Konstitusi lewat Revisi UU MK Dinilai Upaya Menawan Independensi MK

Bukan tanpa alasan, Feri mengungkapkan bahwa upaya merevisi UU MK selalu dikemukakan jelang agenda-agenda politik tertentu. Terutama, yang terkait dengan permasalahan undang-undang.

Bahkan, menurut dia, UU MK pernah direvisi hanya sekadar untuk kepentingan satu atau dua orang hakim saja.

“Jadi menurut saya ini aromanya kental sekali nuansa politiknya,” kata Feri.

Sebagaimana informasi, revisi UU MK pernah terjadi pada tahun 2020 hingga menghasilkan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

Perubahan ketiga tersebut terkait dengan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK, persyaratan menjadi hakim konstitusi, pemberhentian hakim konstitusi, batas usia pensiun hakim konstitusi.

Apabila kembali ke belakang, pada tahun 2020, MK sedang menyidangkan uji formil UU KPK dan uji materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona.

Baca juga: Revisi UU MK Disepakati Dibawa ke Paripurna: Ditolak di Era Mahfud, Disetujui di Era Hadi

Diam-diam diputus dibawa ke paripurna

Sebagaimana diberitakan, Komisi III dan Pemerintah sepakat membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) ke pengambilan keputusan tingkat II di rapat paripurna.

Keputusan itu diambil dalam rapat kerja Komisi III DPR bersama Menteri Koordinator Politik Hukum dan, Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly yang mewakili pemerintah di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (13/5/2024).

Menariknya, rapat kerja tersebut digelar saat DPR masih dalam masa reses, yakni sejak 5 April 2024 hingga 13 Mei 2024.

Namun, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan rapat pleno pengambilan keputusan tingkat I mengenai revisi MK tersebut sudah mendapat izin dari pimpinan DPR.

"Ya seharusnya kalau ada pembahasan di masa reses harusnya sudah izin pimpinan, dan itu sudah saya cek ada izin pimpinannya," ujar Dasco saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa.

Baca juga: Revisi UU MK Dinilai Cenderung Jadi Alat Sandera Kepentingan, Misalnya Menambah Kementerian

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Bawaslu Soroti Potensi Ketidakakuratan Daftar Pemilih Pilkada 2024

Bawaslu Soroti Potensi Ketidakakuratan Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Novel Baswedan Sampai Mantan 'Raja OTT' Akan Daftar Capim KPK

Novel Baswedan Sampai Mantan "Raja OTT" Akan Daftar Capim KPK

Nasional
Titik Temu Mewujudkan Koalisi PKS dan PDI-P pada Pilkada Jakarta

Titik Temu Mewujudkan Koalisi PKS dan PDI-P pada Pilkada Jakarta

Nasional
Datang ke Istana, Bamsoet Lapor Persiapan Sidang Tahunan MPR Terakhir Jokowi

Datang ke Istana, Bamsoet Lapor Persiapan Sidang Tahunan MPR Terakhir Jokowi

Nasional
Wapres Peringatkan Limbah B3 Tak Bisa Dibuang Sembarangan

Wapres Peringatkan Limbah B3 Tak Bisa Dibuang Sembarangan

Nasional
Produksi Karpet Mobil Ternama Dunia Dibuat di Pasuruan, Wapres: Tinggal Buat Mobilnya...

Produksi Karpet Mobil Ternama Dunia Dibuat di Pasuruan, Wapres: Tinggal Buat Mobilnya...

Nasional
Tak Hanya Segelintir, Ternyata Ada 82 Anggota DPR RI yang Main Judi Online

Tak Hanya Segelintir, Ternyata Ada 82 Anggota DPR RI yang Main Judi Online

Nasional
Pusat Data Nasional Jebol: Menkominfo Mundur atau Dimaklumi?

Pusat Data Nasional Jebol: Menkominfo Mundur atau Dimaklumi?

Nasional
Wapres: Penegakan Hukum Harus Punya Dasar yang Dapat Dipertanggungjawabkan

Wapres: Penegakan Hukum Harus Punya Dasar yang Dapat Dipertanggungjawabkan

Nasional
Ada Dua Versi Sikap Jokowi soal Kaesang Maju Pilkada Jakarta, Mana yang Benar?

Ada Dua Versi Sikap Jokowi soal Kaesang Maju Pilkada Jakarta, Mana yang Benar?

Nasional
Coklit Pemilih Pilkada Berlangsung, Bawaslu Ungkap 10 Kerawanan Prosedur

Coklit Pemilih Pilkada Berlangsung, Bawaslu Ungkap 10 Kerawanan Prosedur

Nasional
Hari Ini, SYL dkk Hadapi Sidang Tuntutan Kasus Pemerasan dan Gratifikasi di Kementan

Hari Ini, SYL dkk Hadapi Sidang Tuntutan Kasus Pemerasan dan Gratifikasi di Kementan

Nasional
Stafsus Klaim Jokowi Tak 'Cawe-cawe' di Pilkada Mana Pun

Stafsus Klaim Jokowi Tak "Cawe-cawe" di Pilkada Mana Pun

Nasional
Panasnya Rapat di DPR Bahas Peretasan PDN: Kominfo, BSSN dan Telkom Saling Lempar Bola hingga Disindir Bodoh

Panasnya Rapat di DPR Bahas Peretasan PDN: Kominfo, BSSN dan Telkom Saling Lempar Bola hingga Disindir Bodoh

Nasional
Kaesang ke Sekjen PKS: Jangan Bawa-bawa Presiden Lah, Ketumnya Kan Saya

Kaesang ke Sekjen PKS: Jangan Bawa-bawa Presiden Lah, Ketumnya Kan Saya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com