Sementara di era reformasi yang menjadi babak ‘baru’ perjalanan demokrasi di Indonesia juga tidak luput dari masalah.
Diniyanto (2019) dalam artikelnya “Politik Hukum Regulasi Pemilu di Indonesia: Problem dan Tantangannya” berargumen bahwa terkait UU No 7 Th. 2017 sebagai dasar hukum pemilu pada praktiknya masih menuai kontroversi yang mengatur tentang presidential threshold sebagai ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Sebagian besar politikus menilai ada sisi ketidakadilan hak politik untuk partai yang tidak mampu memenuhi batas minimal dukungan suara.
Dengan kata lain, hak demokrasi dalam konstitusi akan terabaikan dan berpotensi membuat banyak pihak mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Kontroversi perjalanan demokrasi di negara ini tentunya memunculkan dampak buruk yang secara potensial merugikan.
Langgengnya politik dinasti yang disertai maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme karena kelompok penguasa akan memprioritaskan keluarga serta kelompok tertentu dalam berbagai jabatan strategis, akibatnya kebijakan negara akan dibuat sesuai dengan kepentingan politik dinasti.
Hal semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Filipina, 70 persen anggota kongresnya berasal dari dinasti politik dan sebagai dampaknya kondisi sosio-ekonomi masyarakatnya mengalami masalah, seperti meningkatnya tingkat kemiskinan di berbagai provinsi yang jauh dari pusat negara.
Selain itu, pelanggaran demokrasi juga akan menyuburkan praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Seorang pemimpin yang lahir dari pelanggaran demokrasi akan bertindak seperti ‘tangan besi’ dan berpotensi membentuk rezim otoriter yang kebal terhadap hukum.
Tidak hanya itu, pemimpin semacam ini juga akan berpotensi melemahkan oposisi politik, menekan pluralitas politik serta membungkam kebebasan berpendapat karena dianggap sebagai ancaman.
Jadi tidak heran jika nanti kritik dari berbagai kelompok seperti guru besar, akademisi, suara mahasiswa, dan masyarakat akan diabaikan dan tidak dipertimbangkan apabila bertentangan dengan kepentingan sang penguasa.
Konsekuensi berikutnya adalah terhambatnya pemimpin-pemimpin baru yang kompeten dan layak bersaing di arena politik.
Hal ini terjadi karena oligarki dari politik dinasti akan melakukan berbagai cara untuk melanggengkan kekuasaannya melalui jalan nepotisme dengan mengabaikan mekanisme demokratis yang memperhitungkan kemampuan dan integritas individu.
Selain itu, konsekuensi ini juga akan menimbulkan stagnasi dalam inovasi kebijakan dan pembaharuan pemerintahan, karena posisi kepemimpinan dikuasai oleh kelompok penguasa.
Melihat perjalanan demokrasi di Indonesia dengan segala kontroversi dan konsekuensinya, penting bagi kita sebagai rakyat untuk berpikir kritis, meningkatkan literasi politik, dan berperan aktif mengawasi jalannya pemerintahan supaya tidak dikuasai rezim otoriter.
Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini harus memastikan bahwa praktik demokrasi di negeri ini tetap kuat dan inklusif untuk melawan kelompok elite penguasa yang merugikan bangsa dan memastikan bahwa Indonesia terus berkembang sebagai negara demokrasi yang semestinya.
Jika tidak, maka kita akan terus berada dalam belenggu kejahatan rezim penguasa yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.