JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menilai, boleh jadi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menandakan kualitas demokrasi di Indonesia menurun bahkan mengalami defisit yang mengkhawatirkan.
Hal ini disampaikan Arief saat membacakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam sidang putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang diajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Senin (22/4/2024).
"Jangan-jangan tanpa disadari boleh jadi demokrasi kita saat ini mengarah pada titik defisit demokrasi yang mengkhawatirkan," kata Arief, Senin.
Awalnya, Arief menyebut bahwa Indonesia sudah enam kali menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) setiap lima tahun sekali setelah runtuhnya era Orde Baru pada 1998.
Baca juga: Dissenting Opinion, Saldi Isra: Bansos Bisa Jadi Kamuflase Dukungan
Dia mengatakan, Pemilu 2024 juga merupakan pemilu serentak yang cukup kompleks karena selain memilih presiden dan wakil presiden, masyarakat juga memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada hari yang sama.
"Dan pada November 2024 akan ada 545 daerah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak untuk memilih pemimpin daerah di tingkat provinsi, kabupaten, kota," ujar Arief.
Menurut Arief, pelaksanaan enam kali pemilu dapat digunakan untuk mengukur kematangan demokrasi Indonesia, apakah semakin baik atau menurun bahkan mengalami defisit.
"Sebab, telah ternyata tampak jelas secara kasat mata adanya pelanggaran-pelanggaran yang bersifat fundamental terhadap prinsip-prinsip Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945," katanya.
Baca juga: MK Tolak Permohonan Sengketa Pilpres Anies-Muhaimin
Arief lantas menilai, bisa jadi demokrasi Indonesia mengalami penurunan apabila dinilai dari pelaksaan Pemilu 2024.
"Penyelenggaraan pemilhan umum yang adil dan dilaksanakan secara berkala acapkali dijadikan salah satu instrumen untuk mengukur apakah kadar demokrasi kita semakin baik," ujar Arief.
"Atau bahkan mengalami penurunan atau jangan-jangan tanpa disadari boleh jadi demokrasi kita saat ini mengarah pada titik defisit demokrasi yang mengkhawatirkan," ujar Arief melanjutkan.
Diberitakan sebelumnya, MK memutuskan menolak permohonan sengketa hasil Pilpres 2024 yang diajukan oleh Anies-Muhaimin.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim MK Suhartoyo.
Baca juga: Beda Pendapat, Hakim Saldi Isra: Pemilu Orde Baru Juga Sesuai Prosedur, tapi Tidak Adil
Ada sejumlah alasan yang mendasari MK menolak gugatan Anies-Muhaimin.
Pada pokoknya, gugatan pasangan mantan Gubernur DKI Jakarta dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu dianggap tidak beralasan menurut hukum.
Oleh karenanya, dalil-dalil yang disampaikan pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut lantaran dinilai tak relevan.
"Mahkamah berpendapat permohonan pemohon tidak berlasan menurut hukum untuk seluruhnya," ujar hakim konstitusi Guntur Hamzah.
“Oleh karena itu, jika masih terdapat fakta hukum dalam persidangan baik yang dildalilkan atau tidak didalilkan oleh pemohon belum dinilai dan dipertimbangkan, Mahkamah meyakini hal tersebut tidak dapat membuktikan adanya relevansi dengan signifikansi perolehan suara atau hasil yang merupakan prinsip dasar dalam mengungkap perselisihan hasil tentang pemilihan umum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,” lanjutnya.
Baca juga: Beda Pendapat, Saldi Isra: Dalil Politisasi Bansos dan Mobilisasi Aparat Beralasan Menurut Hukum
Namun, terdapat tiga orang hakim konstitusi yang menyatakan dissenting opinion, yakni Enny Nurbainingsih, Saldi Isra, dan Arief Hidayat.
Putusan yang dibacakan ini hanyalah putusan atas permohonan yang diajukan Anies-Muhaimin, masih ada permohonan dari pasangan capres-cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, yang akan dibacakan oleh hakim MK.
Dalam gugatannya ke MK, Anies-Muhaimin meminta agar Prabowo-Gibran didiskualifikasi, dan digelar pemungutan suara ulang.
Kubu Anies-Muhaimin juga memasukkan petitum alternatif, yakni diskualifikasi hanya untuk Gibran.
Di samping itu, Anies-Muhaimin mendalilkan soal adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), juga terlanggarnya asas-asas pemilu di dalam UUD 1945 berkaitan dengan nepotisme Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pengerahan sumber daya negara untuk bantu mendongkrak suara Prabowo-Gibran.
Baca juga: MK Tolak Permohonan Anies-Muhaimin, 3 Hakim Dissenting Opinion
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.