Majelis malah mengatakan, Amicus Curiae merupakan bentuk kecintaan pada bangsa dan negara, khususnya pada penegakan hukum.
Amicus Curiae tidak diatur dalam sistem hukum di MK maupun UU Pemilu. “Inflasi” Amicus Curiae terjadi karena oleh sebagian orang memandang Amicus Curiae sebagai bentuk pernyataan politik.
Ada yang menyebut curang. Ada yang menyebut tidak curang. Itu biasa dalam sistem demokrasi.
Amicus Curiae punya landasan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal itu memberi penegasan, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Rasa keadilan publik, bisa saja dilihat dari berbagai dinamika yang terjadi menyikapi proses sengketa pemilu, termasuk dinamika yang terjadi di sejumlah kampus.
Kampus yang menggeliat, bisa saja merupakan indikasi ada “masalah” dalam proses pemilu bahwa ada masalah dalam proses demokrasi di negeri. Namun bisa saja, ada keterbelahan aspirasi sosial di negeri ini.
Bagaimana hakim konstitusi merespons berbagai kesaksian di persidangan maupun di luar persidangan, itulah yang ditunggu.
Perdebatan di MK adalah perdebatan konstitusional dalam forum yang tepat. Karena itulah, imbauan calon Presiden Prabowo Subianto kepada pendukungnya untuk tidak berunjuk rasa di lingkungan MK adalah langkah tepat. Biarlah MK mengakhiri kontroversi yang tiada akhir.
Menerka bagaimana putusan MK terasa menjadi spekulatif. Namun, saya terinsipirasi buku yang ditulis Stefanus Hendrianto berjudul, “Law and Politics of Constitutional Courts, Indonesia and The Search of Judicial Heroes”.
Bivitri Susanti saat membahas buku Stefanus Hendrianto menyebut, “Judicial Heroes” atau “pahlawan pengadilan” dimaknai sebagai hakim yang mau menggali rasa keadilan masyarakat dan keluar dari sudut pandang legal-formal.
Judicial heroes tak ubahnya sebagai judicial activist.
“Selama ini para akademisi di bidang hukum sudah sering membahas mengenai judicial activism yang menggambarkan bagaimana hakim mampu memutus dengan rasa keadilan yang dianggap baik oleh publik, yang terkadang membuatnya harus membuat penafsiran yang agak keluar dari peraturan perundang-undangan. Maka ‘pahlawan’ dalam konteks buku ini sesungguhnya serupa (tapi tak sama) dengan judicial activist.“
Kemunculan “judicial heroes” dalam panggung MK inilah yang ditunggu publik. Akankah delapan hakim MK berani melakukan constitutional address menanggapi sengkarut pemilu yang sedikit banyak terjadi karena putusan MK?
Jika di Amerika Serikat dikenal The State of Union Address, ada baiknya jika MK (apakah bulat atau dissenting opinion ataukah concurring opinion) melakukan constitusional addres, sebagai respons konstitusional MK atas sengkarut pemilu 2024.