Publik dan Republik menantikan “Idu Geni” delapan hakim konstitusi untuk mengakhiri sengketa pemilihan umum, khusus pemilu presiden 14 Februari 2024.
Sebagaimana tulisan saya di Kompas, 15 April 2024, “MK yang memulai, MK yang Mengakhiri”, putusan MK sangat ditunggu publik.
Kontroversi proses Pemilu Presiden 2024 memang diawali dengan putusan MK yang kontroversial. Dan, kini bola kembali dikembalikan pada MK untuk menebus putusan MK sebelumnya yang memang kontroversial. Inilah peluang besar bagi Mahkamah Konstitusi.
Sengketa Pemilu Presiden 2024 memang menarik. Salah satu yang membedakan dengan sidang sengketa pemilu sebelumnya adalah membanjirnya “Amicus Curiae” atau (sahabat pengadilan) yang diajukan kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi.
Menurut Juru Bicara MK, Fajar Laksono, sudah ada 33 Amicus Curiae yang diterima MK. (Kompas, 19 April 2024). Dan kembali, menurut Fajar, Amicus Curiae yang akan dipertimbangkan MK hanyalah Amicus Curiae yang diterima MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB.
Sejumlah akademisi, seniman, aktivis, ketua umum partai politik mengajukan Amicus Curiae kepada Mahkamah Konstitusi.
Megawati Soekarnoputri dalam kapasitasnya sebagai warga negara Indonesia mengajukan Amicus Curiae. Sebelumnya, Amicus Curiae Megawati Soekarnoputri dimuat di Harian Kompas.
Keterlibatan seniman mengajukan Amicus Curiae, menurut Butet Kartaradjasa dalam esainya di Kompas, 18 April 2024, telah membelah komunitas seniman. Komunitas “seniman baik dan benar” dan “gerombolan seniman disorientasi”.
Butet menulis, ”keterlibatan seniman, rohaniawan, akademisi” “membelot” dari profesinya lebih karena keyakinan mereka kepada nilai-nilai. Nilai dasar kehidupan, termasuk etika dan kepantasan, tidak boleh diganggu.
Langkah Megawati yang mengajukan diri menjadi “Amicus Curiae” juga mengundang kritik karena Megawati adalah termasuk pihak yang berselisih.
Amicus Curiae adalah fenomena baru dalam sistem hukum Indonesia. Dalam perkara pidana, penggunaan Amicus Curiae diadopsi dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus Ferdy Sambo.
Sedang dalam perkara di MK, Amicus Curiae boleh jadi, ini adalah sejarah baru. Akankah hakim MK mengadopsi model Amicus Curiae? Selayaknya, MK memberikan pendapat konstitusional.
Banjirnya Amicus Curiae bisa saja dipandang sebagai bentuk tekanan politik yang mengintervensi kekuasaan kemandirian kehakiman.
Namun, mengacu pada pertimbangan majelis hakim dalam kasus Sambo, Ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso, menyebut Amicus Curiae bukanlah intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.
Majelis malah mengatakan, Amicus Curiae merupakan bentuk kecintaan pada bangsa dan negara, khususnya pada penegakan hukum.
Amicus Curiae tidak diatur dalam sistem hukum di MK maupun UU Pemilu. “Inflasi” Amicus Curiae terjadi karena oleh sebagian orang memandang Amicus Curiae sebagai bentuk pernyataan politik.
Ada yang menyebut curang. Ada yang menyebut tidak curang. Itu biasa dalam sistem demokrasi.
Amicus Curiae punya landasan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal itu memberi penegasan, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Rasa keadilan publik, bisa saja dilihat dari berbagai dinamika yang terjadi menyikapi proses sengketa pemilu, termasuk dinamika yang terjadi di sejumlah kampus.
Kampus yang menggeliat, bisa saja merupakan indikasi ada “masalah” dalam proses pemilu bahwa ada masalah dalam proses demokrasi di negeri. Namun bisa saja, ada keterbelahan aspirasi sosial di negeri ini.
Bagaimana hakim konstitusi merespons berbagai kesaksian di persidangan maupun di luar persidangan, itulah yang ditunggu.
Perdebatan di MK adalah perdebatan konstitusional dalam forum yang tepat. Karena itulah, imbauan calon Presiden Prabowo Subianto kepada pendukungnya untuk tidak berunjuk rasa di lingkungan MK adalah langkah tepat. Biarlah MK mengakhiri kontroversi yang tiada akhir.
Menerka bagaimana putusan MK terasa menjadi spekulatif. Namun, saya terinsipirasi buku yang ditulis Stefanus Hendrianto berjudul, “Law and Politics of Constitutional Courts, Indonesia and The Search of Judicial Heroes”.
Bivitri Susanti saat membahas buku Stefanus Hendrianto menyebut, “Judicial Heroes” atau “pahlawan pengadilan” dimaknai sebagai hakim yang mau menggali rasa keadilan masyarakat dan keluar dari sudut pandang legal-formal.
Judicial heroes tak ubahnya sebagai judicial activist.
“Selama ini para akademisi di bidang hukum sudah sering membahas mengenai judicial activism yang menggambarkan bagaimana hakim mampu memutus dengan rasa keadilan yang dianggap baik oleh publik, yang terkadang membuatnya harus membuat penafsiran yang agak keluar dari peraturan perundang-undangan. Maka ‘pahlawan’ dalam konteks buku ini sesungguhnya serupa (tapi tak sama) dengan judicial activist.“
Kemunculan “judicial heroes” dalam panggung MK inilah yang ditunggu publik. Akankah delapan hakim MK berani melakukan constitutional address menanggapi sengkarut pemilu yang sedikit banyak terjadi karena putusan MK?
Jika di Amerika Serikat dikenal The State of Union Address, ada baiknya jika MK (apakah bulat atau dissenting opinion ataukah concurring opinion) melakukan constitusional addres, sebagai respons konstitusional MK atas sengkarut pemilu 2024.
Constitusional addres semacam conscience of the nation Mahkamah Konstitusi terhadap situasi kebangsaan, pasca-Pemilu 2024. Pesan itu penting karena MK melalui putusan No 90, punya kontribusi menjadikan Pemilu 2024 seperti saat ini.
“Judicial heroes” seharusnya muncul dalam pertimbangan putusan Mahkamah sebelum pada inti amar putusan.
Sejumlah ahli meyakini pertimbangan hakim konstitusi, apakah bulat, dissenting atau concurring opinion, selayaknya menjawab keprihatinan bangsa.
MK selayaknya menjawab soal Amicus Curiae, menjawab soal putusan MK No 90, menjawab soal nepotisme, menjawab soal netralitas, menjawab soal bantuan sosial, termasuk memberikan direksi konstitusional, sangat diharapkan.
MK diharapkan menjadi apa yang pernah dikatakan Agustinus, “Kalau MK berkata, masalahnya selesai”, yang diplesetkan dari “Roma Locuta, causa finite est.”
Putusan MK pada Senin 22 April 2024, menjadi ujian bagi pribadi-pribadi hakim MK. Akankah mereka konsisten dengan sikap konstitutional terhadap putusan No 90 atau mereka mengubah posisi konstitusionalnya, itulah yang ditunggu.
Namun, dampak dari putusan tetap perlu dipertimbangkan untuk kondisi negeri kali ini dan masa depan.
https://nasional.kompas.com/read/2024/04/20/06000061/banjir-amicus-curiae-akankah-lahir-pahlawan-pengadilan-